Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir tahun 2011 ini masih tetap tumbuh cukup tinggi, sebesar 6,5 persen, padahal sejak September lalu dampak krisis ekonomi di Eropa mulai merasuki sejumlah sektor ekonomi terutama di bidang keuangan.
Dampak krisis ekonomi di Eropa terlihat dengan banyaknya dana-dana investor asing pada portofolio keuangan yang keluar dari pasar saham, pasar uang dan pasar obligasi, sehingga mengakibatkan anjloknya indeks saham (IHSG), melemahnya nilai tukar rupiah dan meningkatnya yield Surat Berharga Negara (SBN) Pemerintah.
Pada bulan September lalu aliran dana asing yang keluar (capital outflows) tercatat pali besar, dana asing di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berkurang sebanyak 1,587 miliar dolar AS, di SBN berkurang 3,3 miliar dolar AS dan di saham 698 juta dolar AS.
Total dana asing yang keluar pada September 5,59 miliar dolar AS, sementara pada Oktober jumlahnya berkurang menjadi 640 juta dolar AS dan pada Nopember dana asing yang keluar 1,46 miliar dolar AS.
Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menilai krisis ekonomi di Eropa belum sampai pada batas bawahnya, dan belum semua potensi buruk dari krisis tersebut terbuka ke masyarakat karena ada keengganan dari bank-bank di Eropa tersebut untuk menilai potensi kerugiannya akibat krisis.
Sementara di sektor perdagangan, volume permintaan ekspor dari negara-negara Eropa dan juga Amerika Serikat ke Indonesia akan menurun. Begitu pula permintaan dari negara-negara lain yang terkena dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia ini.
Data Bank Indonesia menyebutkan ekspor Indonesia sampai semester I 2011 ke negara-negara Uni Eropa mencapai 1,77 miliar dolar AS, atau sekitar 10,4 persen dari total nilai ekspor Indonesia sebesar 14,22 miliar dolar AS. Sedangkan ekspor ke Amerika Serikat mencapai 1,36 miliar dolar AS atau 8,2 persen dari total ekspor Indonesia.
Sementara itu Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo melihat dampaknya ke Indonesia akan terasa di sektor keuangan dengan akan semakin tingginya volatilitas arus modal asing yang masuk dan keluar serta dari sektor perdagangan karena akan turunnya ekspor akibat permintaan dunia yang melemah.
Sejumlah ekonom seperti seperti Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan melihat dampak dari krisis ekonomi Eropa di sektor perdagangan tidak akan terlalu besar, karena ekspor Indonesia tidak lagi bergantung ke negara-negara maju, karena sudah adanya pengalihan ke negara-negara `emerging` dan negara-negara lain yang memiliki volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi seperti China, India dan Jepang serta negara-negara ASEAN.
Ekspor ke China pada semester I 2011 mencapai 2 miliar dolar AS atau 16,1 persen dari total ekspor Indonesia, ke India sebesar 1,1 miliar dolar AS atau 5,7 persen dan ke Jepang 1,79 miliar dolar AS atau 13,4 persen total ekspor Indonesia.
Selain itu, ekspor Indonesia juga lebih terkonsentrasi pada komoditas primer seperti batu bara, minyak sawit, karet, timah dan nikel dibanding produk-produk industri seperti tekstil, bahan kimia, mesin, alas kaki dan barang karet.
Karakteristik ekspor yang lebih besar pada komoditas primer ini, menurut Anto cenderung lebih elastis terhadap gejolak permintaan karena merupakan barang-barang kebutuhan pokok yang tetap besar permintaannya.
"Pertumbuhan ekonomi di China dan India itu kan masih tetap butuh listrik, sehingga ekspor batu bara masih akan tetap tinggi," katanya
Selain itu Dampak krisis ekonomi eropa berdampak pada perdagangan terutama pada perdagngan karet berjangka. Di bursa TOCOM Tokyo, harga karet berjangka untuk penyerahan Mei 2012 turun 1,9 persen, dan ditutup pada level harga 272,2 yen per kilogram. Penurunan harga karet dipengaruhi krisis utang Eropa, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa permintaan bisa turun.
Thailand, Indonesia, dan Malaysia, yang menguasai pangsa pasar karet alami dunia hingga 70 persen, berencana untuk mendirikan pasar fisik regional, guna menciptakan harga patokan baru atas komoditas tersebut.
Pasar itu akan membantu perdagangan produsen dengan harga yang lebih transparan dan dapat diandalkan. Pasar tersebut akan melibatkan Bursa Komoditas & Derivatif Indonesia (BKDI), Bursa Berjangka Pertanian Thailand (AFET), dan Bursa Derivatif Malaysia (MDEX).
Menurut laporan perkembangan harga Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, harga karet ekspor kualitas 90 persen di Sumatera Selatan berada pada level harga Rp 27.929 per kilogram, turun dibandingkan sebelumnya kisaran Rp 28.374 per kg.
Harga karet Sumsel selama ini berpatokan dengan pasaran di luar negeri, karena sebagian besar komoditas perkebunan tersebut diekspor ke sejumlah negara konsumen.
Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel, nilai ekspor provinsi tersebut selama September 2011 menghasilkan devisa sebesar 367,22 juta dolar AS, atau turun dibandingkan bulan sebelumnya mencapai 400,61 juta dolar.
Karet Sumsel, berdasarkan data Dinas Perkebunan setempat dipasok dari sejumlah daerah penghasil seperti Kabupaten Muaraenim, Lahat, Musirawas, Musibanyuasin, Banyuasin, Ogan Komering Ilir, dan Ogan Komering Ulu Timur, termasuk sebagian dari wilayah Kota Prabumulih, dengan total luas mencapai hampir satu juta hektar.
0 komentar:
Posting Komentar