Pada 2012 ini diprediksi bisnis sawit masih bersinar, terlebih ekspor CPO bakal meningkat diatas 20 juta ton. Kondisi ini akibat masih banyaknya perusahaan perkebunan yang memacu produksinya, lewat akuisisi maupun pembukaan lahan.
Industri sawit nasional diprediki masih akan terus berkibar, seiring dengan meningkatnya permintaan dan produksi. Ditambah ekspor CPO di akhir 2011 lalu tembus diatas 18 juta ton lebih tinggi ketimbang tahun 2010 yang hanya mencapai 15,65 juta ton .
karet P ada 2012 ini diprediksi bisnis sawit masih bersinar, terlebih ekspor CPO bakal meningkat diatas 20 juta ton. Kondisi ini akibat masih banyaknya perusahaan perkebunan yang memacu produksinya, lewat akuisisi maupun pembukaan lahan.
Industri sawit nasional diprediki masih akan terus berkibar, seiring dengan meningkatnya permintaan dan produksi. Ditambah ekspor CPO di akhir 2011 lalu tembus diatas 18 juta ton lebih tinggi ketimbang tahun 2010 yang hanya mencapai 15,65 juta ton .
Kuatnya bisnis sawit ini, akibat minyak sawit masih menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia, terlebih negara-negara di kawasan Eropa tetap gencar menerapkan program penggunaan baha bakar nabati (biofuel), maka permintaan diprediksi masih meningkat dari kawasan ini.
Namun hingga saat ini fluktuasi pasar CPO dunia masih dipengaruhi oleh suplai dan demand, artinya jika Indonesia dan Malaysia selaku produsen utama CPO dunia mengalami kendala produksi akibat cuaca yang tidak bersahabat atau tingginya curah hujan bisa berdampak pada capaian produksi kedua negara, ujung-ujungnya bakal mempengaruhi harga CPO dunia. Namun demikian, permintaan CPO dunia tercatat masih tetap tinggi, artinya tercermin dari masih meningkatnya permintaan dari negara-negara seperti Cina, India dan Pakistan.
Selain kendala cuaca utamanya untuk di Indonesia, pengembangan industri kelapa sawit sedianya didorong oleh regulasi yang menguntungkan, salah satunya menghilangkan regulasi yang menjadi penghambat, misalnya, tingkat Bea Keluar (BK) yang semestinya tidak terlalu tinggi, penyelesaian cepat terkait tata ruang dan hukum, supaya dapat merangsang peningkatakan volume ekspor.
Selain itu menciptakan iklim usaha yang baik, dari segi keamanan dan infrastruktur serta dukungan penyediaan dana guna meningkatkan penyerapan CPO di dalam negeri, penerapan program penggunaan bahan bakar nabati (biofuel) harus segera dimulai utamanya sebagai bahan bakar di industri.
Perluasan areal perkebunan kelapa sawit faktanya masih dibutuhkan, paling tidak langkah perluasan mesti dilakukan secara maksimal, misalnya, per tahun bisa dilakukan pembukaan lahan sampai 2 juta ha. Selain itu tentunya harus didukung oleh kesiapan industri benih sawit nasional.
Terkait pengembangan hilir yang digagas pemerintah lewat program hilirisasi, pemerintah mesti konsisten guna memberikan insentif supaya percepatan pengembangan industri hilir bisa tercapai. Tingkat suku bunga yang kompetitif , infrastruktur yang memadai, jaminan keamanaan berinvestasi, kemudahan perizinan, dukungan pembiayaan riset dan pengembangan SDM serta mempercepat revitalisasi perkebunan sawit rakyat. Alhasil, bila semua itu bisa dilakukan, strategi ekspor industri kelapa sawit bisa ditingkatkan.
CPO Meningkat Pemerintah Untung
Meningkatnya produksi minyak mentah Crude Palm Oil (CPO) dinilai menguntungkan bagi negara. Dengan ekpektasi produksi sekira 22 juta ton CPO tahun ini, serta ekspor lebih dari 17 juta ton, diperkirakan menyumbang devisa ke negara lebih dari Rp160-an triliun.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, peningkatan kontribusi sumbangan devisa dari CPO ini meningkat cukup besar dibanding 2010 lalu. Sebab, pada 2010, melalui ekspor CPO, bea keluar memberi kontribusi sebesar Rp122 triliun untuk pendapatan negara.
“Catatan kita kan penerimaan dari CPO Rp122 triliun untuk 2010 lalu. Sekarang kan pasti lebih banyak. Sebab angkanya (harga jual ekspor kan di atas USD1.000. Jika dikalikan saja, dengan ekspor lebih dari 17 juta ton dengan harga segitu kan lebih dari USD17 miliar. Itu saja sudah sekira Rp160-an triliun,” kata Hatta.
Peningkatan harga dan produksi CPO jelas menambah pendapatan negara akan lebih besar. Namun, pemerintah juga masih memperhatikan kepentingan pengusaha CPO. Sebab untuk harga CPO yang di bawah USD700 per ton, pemerintah tetap memberikan perlindungan, dengan ditekannya bea keluar.
Namun, untuk harga yang berada di atas USD700, realatif dikenakan bea keluar sekira lima persen, apabila sekira USD1.200 sampai maksimum sekira 25 persen.
“Kita tetap harus memberikan perlindungan berdasarkan harga di bawah USD700. Tapi relatively, kan ada yang lima persen sampai 25 persen paling tinggi, dikenakan untuk harga yang di atas USD700,” katanya.
Hatta menjelaskan, banyak pihak terutama dari sisi pengusaha yang berpikir bahwa bea keluar cenderung memberatkan karena mengurangi pendapatan yang cukup besar. Hal ini pun menjadi salah satu trigger agar pengusaha sawit bisa meningkatkan nilai tambah (added value) dengan hilirisasi.
Selain itu, tingginya harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mendorong petani sawit semakin gencar menambah luas lahan perkebunan sawitnya. Data yang dilansir unit pelayanan pertanian luar negeri departemen pertanian Amerika Serikat (USDA FAS) menyebutkan: lahan perkebunan sawit rakyat di Indonesai semakin bertambah.
0 komentar:
Posting Komentar