Luas
lahan rawa di Indonesia tercatat sekitar 33,3 juta ha yang tersebar di
pulau Kalimantan, Sumatra, Papua, dan Sulawesi. Dari luasan tersebut
terdapat lahan gambut atau bergambut seluas 21 juta ha dan yang
mempunyai lapisan pirit dilaporkan sekitar 1,5 juta ha, selain itu
terdapat sekitar 9 juta ha lahan rawa di Indonesia yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai lahan pertanian.
Dengan demikian, jika lahan tersebut dapat dikelola dengan baik dengan
input teknologi yang memadai akan diperoleh sumbangan produksi pertanian
yang sangat besar. Namun kendala utama yang akan dihadapi dalam
pengembangan lahan rawa adalah infrastruktur pengelolaan air (saluran
dan pintu-pintu air) yang tidak memadai, infrastruktur jalan yang
terbatas, sumberdaya petani (jumlah dan keterampilan) yang rendah, dan
kondisi kesuburan tanah yang relative rendah.
Potensi lahan gambut tidak hanya untuk usaha tanaman semusim, namun
juga untuk tanaman perkebunanan seperti sawit, karet, dan tebu.
Pengembangan lahan perkebunan seperti sawit dan karet makin intensif
dilakukan akhir-akhir ini yang apabila dilakukan dengan tidak hati-hati
akan menimbulkan dampak lingkungan yang tidak kecil. Sedangkan
penggunaan lahan gambut untuk pengembangan tanaman tebu di Indonesia
belum banyak dilakukan, seperti yang sudah dilakukan di Australia.
Petani di negara bagian New South Wales Australia telah memanfaatkan
lahan gambut untuk usaha tanaman tebu sejak 50 tahunan yang lalu.
Australia memiliki lahan gambut yang berpirit (sulfat masam potensial)
seluas 40.000 km2. Lahan ini memiliki lapisan pirit dibawah perrmukaan
yang apabila terekspose ke udara/oksigen melalui penggalian atau
penurunan muka air tanah akan menyebabkan pemasaman tanah yang sangat
ekstrim (pH <3).
Dengan teknologi yang dimiliki, Australia telah berhasil mengembangkan
lahan sulfat masam dengan tingkat produktivitas yang tinggi dan menekan
serendah mungkin tingkat kerusakan lingkungan. Pengalaman pengembangan
lahan gambut di Australia akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan
kehati-hatian dalam memanfaatkan lahan gambut di indonesia untuk
pertanian sehingga kerusakan yang pernah terjadi selama kegiatan PLG
tidak terulang lagi.
Lahan Gambut Untuk Tebu
Perkebunan tebu di negara bagian New South Wales (NSW) itu menempati
areal seluas 38.000 ha, seluas 31.000 ha diantaranya ditanam di lahan
gambut. Lahan tebu umumnya telah diusahakan cukup lama 30-80 tahun
dengan tingkat produktivitas yang terus membaik dan input pupuk yang
rendah, tebu yang ditanaman di lahan gambut tebal tidak pernah dipupuk
sejak 50 tahun terakhir dan hasilnya tetap baik dan menghasilkan 90
ton/ha.
Petani di Negara itu rata-rata pemilikan lahan tebu sekitar 300 ha per
petani dengan produktivitas sekitar 90-120 ton/ha dan rendemen sekitar
10-12%. Saat ini terdapat tiga pabrik yang mengolah tebu petani menjadi
“raw sugar” dengan kapasitas produksi 550 ribu ton perpabrik. Selain
itu terdapat satu pabrik untuk mengolah “raw sugar” menjadi gula siap
konsumsi dengan produksi gula sekitar 2 juta ton per tahun. Tingkat
konsumsi gula di negara bagian NSW sekitar 500 ribu ton, dengan demikian
sekitar 1,5 juta ton diekspor.
Penggunaan mesin-mesin pertanian (mekanisasi) untuk penyiapan lahan,
penanaman, pemupukan dan panen sudah sangat intensif sehingga mengurangi
penggunaan tenaga kerja manusia. Untuk mengelola lahan seluas 300 ha
hanya diperlukan dua orang tenaga kerja manusia untuk mengoperasikan
mesin-mesin pertanian.
Kegiatan panen tebu misalnya hanya menggunakan 2dua orang tenaga
manusia satu orang operator mesin panen dan satu orang pengemudi truk.
Penggunaan mekanisasi pertanian ini mampu memanen tebu sebanyak 1200
ton/hari atau 10-12 ha/hari tebu. Sebelum mekanisasi digunakan,
diperlukan 53 orang tenaga kerja pemotong tebu untuk memanen tebu dengan
luasan yang sama. Kelebihan dari penggunaan mekanisasi tidak hanya
pada penghematan waktu dan tenaga manusia, tetapi juga daun tebu telah
terpisah dari batang tebu dalam bentuk sudah terpotong-potong yang
secara otomatis disebar ke lahan.
Pengembalian daun dan akar tebu ke lahan akan mempertahankan kadar
bahan organik tanah tetap tinggi sehingga kesuburan tanahnyapun dapat
dipertahankan. Dengan teknik tersebut maka seorang petani mengemukakan
bahwa tanaman tebunya tidak pernah diberi pupuk kimia sejak 50 tahun
terakhir dengan hasil tebu tetap tinggi rata-rata 90 ton ha.
Pengamatan di lahan usahataninya menunjukkan bahwa tingkat kematangan
gambutnya sudah sangat matang dan tebal. Proses pematangan gambut yang
telah berlangsung selama 90 tahun tersebut meningkatkan ketersediaan
hara dan memperbaiki kemasaman tanah. Namun demikian, dampak negatifnya
adalah terjadinya penurunan permukaan lahan sedalam 6 meter atau
rata-rata 5-7 cm pertahun akibat subsidensi atau pemadatan dan
dekomposisi gambut.
Kelangkaan dan mahalnya tenaga kerja manusia di NSW itu memaksa petani
untuk menggunakan mekanisasi pertanian. Pengadaan alat dan mesin
pertanian (alsintan) dilakukan secara berkelompok dengan anggota 20
orang petani per kelompok. Biaya operasional dan operator serta biaya
pemeliharaan ditanggung bersama. Pengadaaan alsintan secara berkelompok
sangat membantu petani karena besarnya investasi yang harus ditanamkan
untuk pengadaan alsintan. Pengadaan alsintan sepenuhnya atas biaya
petani tanpa sedikitpun bantuan dari pemerintah. Seorang petani
mengatakan bahwa luas lahan tebu minimal agar feasible adalah 10 ribu ha
per petani.
Untuk mencapai kondisi produktivitas seperti saat sekarang ini
diperlukan waktu 30 – 50 tahun. Lamanya waktu yang diperlukan untuk
mematangkan lahan gambut untuk perkebunan tebu antara lain disebabkan
oleh 1). kondisi lahan gambut pada 60 tahun yang lalu belum matang,
banyak tunggul dan batang pohon yang besar-besar, 2) gambut masih kurus
dan tebal (>3 meter) karena bahan organiknya belum terdekomposisi, 3)
jaringan drainasi dibangun oleh petani sendiri tanpa bantuan
pemerintah, dan 4) pengalaman mengelola lahan gambut yang benar belum
ada.
Lahan Gambut di Indonesia
Indonesia yang memiliki lahan gambut yang sangat luas lebih dari 20
juta ha dan sekitar 9 juta ha diantaranya sangat potensial untuk
pengembangan pertanian dengan tingkat kendala biofisik dan sosial yang
bervariasi. Sejauh ini, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian masih
kurang intensif. Pengembangan tebu di lahan gambut sangat potensial dan
dapat mengurangi terjadinya konflik lahan dengan komoditi tanaman
pangan. Petani di negara bagian New South Wales Australia telah
membuktikan bahwa selama 50 tahun menanam tebu di lahan gambut tidak
menimbulkan konflik sosial dan lingkungan yang menonjol dengan tingkat
produktivitas tebu yang tinggi 90 – 120 ton ha-1 dan rendemen sekitar
11%.
Petani tebu di Australia menanami lahan tebunya dengan kedelai setelah
panen tebu sebanyak 5 kali. Panen tebu dilakukan sekali dalam setahun.
Bandingkan dengan produktivitas tebu di Indonesia yang 80 ton ha dengan
rendemen 7%. Tebu di Indonesia umumnya ditanam di lahan sawah
beririgasi teknis di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung,
sehingga menimbulkan terjadinya persaingan lahan dengan tanaman padi dan
palawija.
Daerah-daerah gambut di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan
tebu adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Merauke, Sumatra
Selatan dan Jambi. Potensi lahan gambut untuk pengembangan tebu
didaerah tersebut dapat mencapai 1 juta ha. Apabila tingkat
produktivitas diperhitungkan sekitar 70 ton/ha dan rendemen sekitar 6%,
maka akan diperoleh tambahan gula sebanyak 4,2 juta ton.
Untuk mempercepat proses pematangan dan penyiapan lahan diperlukan
adanya kebijakan pengembangan lahan gambut pemerintah untuk komoditi
tertentu seperti tebu. Intevensi pemerintah adalah dalam bentuk
penetapan sentra-sentra prosuksi tebu dengan luasan yang memadai dengan
luas areal 25 ribu ha per sentra prosuksi, adanya insentif harga dan
jaminan pemasaran sehingga meransang motivasi petani untuk menanam tebu,
pengembangan jaringan tata air yang sesuai dengan karakteristik lahan
gambut sehingga meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan,
pengembangan alsintan khusus untuk tebu untuk mengatasi kelangkaan
tenaga kerja manusia di lahan rawa, pendirian pabrik gula skala sedang
di setiap sentra produksi, dan memfasilitasi terjadinya sinergi antara
petani melalui kelompok tani dengan peneliti, penyuluh dan swasta.
0 komentar:
Posting Komentar