Selasa, 17 April 2012

Polemik CPO di AS Belum Jelas

karet Polemik ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia ke pasar AS tak kunjung selesai. Batas pengajuan keberatan Indonesia pada notifikasi Environment Protection Agency (EPA) AS ternyata diperpanjang kembali hingga Mei mendatang. Padahal, pengunduran batas yang dilakukan oleh AS seharusnya tepat pada 27 April 2012. Padahal AS sebelumnya sudah memperpanjang batas dari 28 Maret 2012 yang lalu.

Hanya sekedar mengingatkan pada 27 Januari 2012 lalu pemerintah AS merilis Notifikasi dari Environmental Protection Agency (EPA), mengenai standar bahan bakar dari sumber yang dapat diperbarui atau Renewable Fuel Standards (RFS).

karet P olemik ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia ke pasar AS tak kunjung selesai. Batas pengajuan keberatan Indonesia pada notifikasi Environment Protection Agency (EPA) AS ternyata diperpanjang kembali hingga Mei mendatang. Padahal, pengunduran batas yang dilakukan oleh AS seharusnya tepat pada 27 April 2012. Padahal AS sebelumnya sudah memperpanjang batas dari 28 Maret 2012 yang lalu.

Hanya sekedar mengingatkan pada 27 Januari 2012 lalu pemerintah AS merilis Notifikasi dari Environmental Protection Agency (EPA), mengenai standar bahan bakar dari sumber yang dapat diperbarui atau Renewable Fuel Standards (RFS).

Pada intinya notifikasi itu menyatakan bahwa bahan bakar minyak nabati atau biofuel yang berasal dari minyak sawit Indonesia belum memenuhi standar energi yang ditentukan.

Kendati terkesan tak ada kepastian daro pihak AS, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan tetap optimistis negosiasi antara RI dengan AS terkait permasalahan ekspor sawit tersebut bakal berjalan mulus.

Walatas batas waktu diperpanjang hingga bulan Mei mendatang. Kementerian Pertanian sudah memasukkan argumennya (terhadap Notice of data availability (NODA) EPA). Sementara untuk Kementerian Perdagangan memasukkan jawaban Notice of data availability pada 12 April lalu . Sedangkan Malaysia juga sudah memberikan argument," ungkap Gita.

Gita pun yakin Indonesia bisa memenangi perkara ini, seperti yang sebelumnya terjadi pada ekspor rokok keretek RI, yang dihadang oleh AS dengan penutupan keran impornya. Gita mengaku, selama pihaknya melakukan diskusi dengan AS dan EPA, kedua pihak lawan tersebut sangat mampu menerima argumen RI.

"Finalisasi akan dilakukan beberapa bulan sebelum akhir tahun (2012). Kita lihat sikap dari Pemerintah Amerika Serikat," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menerangkan pihaknya masih menunggu kepastian, baik dari Pemerintah RI dan juga Pemerintah AS. Pasalnya, kendati nilai ekspor CPO Indonesia ke AS tergolong rendah, akan tetapi AS merupakan pasar yang masih potensial untuk dikembangkan.

"Yang saya tahu pengundurannya sampai 27 April (2012). Namun kami juga tidak bisa apa-apa, karena juga hak mereka (AS) untuk mengundur-ngundur waktunya," katanya.

Fadil mengaku, untuk mengantisipasi jebloknya ekspor komoditas sawit, pihaknya semakin fokus untuk mendiversifikasi pasar ekspor sawit, misalnya ke Brazil dan Afrika. Selama ini kedua wilayah tersebut memiliki kontribusi yang sangat kecil, dibandingkan negara tujuan ekspor sawit lainnya seperti India yang berkontribusi lebih dari 30 persen, Eropa sebesar 15-20 persen, dan Tiongkok di kisaran 12-13 persen.

"Untuk ekspor ke AS masih di angka 62 ribu ton setahun. Masih kecil hitungannya," ujarnya.

Sebagai catatan, produksi CPO pada 2011 sebesar 23,5 juta ton. Semetara pada tahun ini, ditargetkan ekspor CPO mencapai lebih dari 25,4 juta ton. Komposisi CPO yang diekspor sebesar 70,2 persen dari total produksi CPO, yakni sebesar 16,5 juta ton.

Sedangkan yang digunakan untuk pasar domestic sebesar 7 juta ton saja. Saat ini, luasan lahan sawit secara nasional sebesar 8,2 juta hectare. Sementara tahun ini diproyeksi ada tambahan lahan sebesar 150 hektare. Lahan sawit terbesar masih di Pulau Sumatera.

AS Incar Lahan Sawit Indonesia

Dibelakang penolakan CPO Indonesia di AS, usut-upunya usut ada sejumlah investor asal Amerika Serikat mencari lahan untuk perkebunan sawit. Luas areal yang dibutuhkan oleh investor itu seluas 250 ribu hectare. Menurut duniaindustri.com, Investor AS itu namanya sudah terdaftar di bursa efek AS dan menyiapkan dana investasi sebesar US$ 1,25 miliar atau setara US$ 5.000 per hektare.

Duniaindustri.com menyatakan, nama perusahaan AS tersebut cukup tenar di negeri Paman Sam. 250 ribu hektare kebun sawit masih ada di Indonesia mengingat Indonesia menjadi produsen sawit terbesar di dunia.

Sementara lokasi yang diincar perusahaan tersebut sampai sejauh ini masih belum menyebutkan dimana lokasi yang diinginkan, karena khawatir harga lahan akan naik terlebih tinggi. 


http://fp2sb.org

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More