Senin, 23 April 2012

Harga Kakao Melemah

Pada penutupan perdagangan di bursa ICE Futures dini hari tadi harga kakao
berjangka tampak mengalami penurunan yang cukup signifikan . Harga komoditas
ini anjlok setelah sebelumnya sempat mengalami rally selama lima sesi berturut-
turut. Penurunan terjadi di tengah kekhawatiran bahwa krisis Eropa akan
mengakibatkan kerentanan baru pada ekonomi global.

Kondisi keuangan kawasan euro belum sepenuhnya pulih. Bahkan saat ini
dikhawatirkan Spanyol akan menyusul Yunani dan terpaksa meminta bantuan
pendanaan dari pihak luar. Kondisi ini bakal menyebabkan penurunan permintaan
sehingga harga sebagian besar komoditas terpukul, termasuk juga di bursa saham.

Harga kakao berjangka untuk kontrak Juli saat ini merupakan kontrak paling aktif
diperdagangkan. Harga komoditas ini di bursa ICE Futures tampak mengalami
penurunan sebesar 4 dolar (1.05%) dan berakhir pada posisi 2257 dolar per
ton. Sedangkan harga komoditas di bursa NYSE tampak mengalami penurunan
sebesar 7 poundsterling (0.47%) di posisi 1479 poundsterling per ton.

Analis Vibiz Research dari Vibiz Consulting memperkirakan bahwa pergerakan
harga komoditas masih akan cenderung berada dalam trend yang sideways,
dengan trend minor yang menguat. Saat ini harga kakao berjangka diperkirakan
masih akan berada pada kisaran 2000 - 2300 dolar per ton.

Impor Kakao

Indonesia menduduki peringkat tiga produsen kakao dunia setelah Pantai Gading
dan Ghana. Namun faktanya industri pengolahan masih impor bubuk kakao rata-
rata 22.000 ton per tahun yang merupakan 15% dari total kebutuhan di dalam
negeri.

impor bubuk kakao yang dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kualitas
produk dari bahan baku impor pilihan. Mengingat Produsen tidak bisa
mengandalkan kakao Indonesia yang sebagian besar hasil produksinya tidak
difermentasi.

Dinie Suryani dan Zulfebriansyah dalam Economic Review menyebutkan bahwa
pengelolaan produk kakao masih bersifat tradisional. Dimana 85% biji kakao
yang diproduksi secara nasional tidak difermentasi. Artinya, komoditas tersebut
memiliki kualitas biji yang sangat rendah.

Ekspor komoditas kakao yang berkualitas rendah itu telah menjatuhkan harga
komoditas. Dinie Suryani dan Zulfebriansyah menyebut buyer menuntut
diskon sebesar USD. 200/ton atau 10%-15% dari harga pasar. Bila merujuk pada
perkembangan terakhir yang disampaikan Wakil Menteri Perdagangan Bayu
Krisnamurthi perihal diskon harga, maka besaran diskon sebesar USD. 500 per
ton di pasar new york yang sebelumnya hanya USD. 100 per ton adalah angka
yang cukup memberatkan eksportir.

Di satu sisi ekspor dibawah harga wajar karena tuntutan diskon, di sisi lain ada
kesempatan yang hilang untuk mendapatkan nilai tambah karena tidak dilakukan
proses pengolahan lebih lanjut. Artinya problem kualitas bahan baku untuk ekspor
dan belum tergarapnya proses pengolahan lebih lanjut.

Padahal kesempatan untuk mengolah biji kakao bisa menghasilkan variasi
produk olahan seperti untuk produk antara yang meliputi cocoa powder, cocoa
butter, dan cocoa liquor dan untuk produk akhir berupa coklat. Bila semakin
meningkat kapasitas produksinya dengan semakin banyak variasi produk antara
dan produk akhir yang diciptakannya akan semakin menyumbang devisa bagi
negara dibanding perolehan devisa dari ekspor biji kakao.

Sedangkan untuk kepentingan ekonomi, ada sumbangan pertumbuhan yang
berkualitas dan serapan tenaga kerja yang lebih besar dibanding hanya
mengandalkan ekspor komoditas kakao dalam kondisi “gelondongan”.

Predikat nomor tiga produsen biji kakao dunia yang disandang Indonesia masih
bisa ditingkatkan untuk menjadi yang pertama. Indonesia setidaknya memiliki
keunggulan dalam pengadaan bahan baku kakao kalau bisa mencetak perkebunan
baru. Karena potensi alam yang luas sangat mendukung pencapaian Indonesia
menjadi nomor satu dalam produksi kakao.

Tentu saja investasi untuk menambah kapasitas lahan dari luas perkebunan
kakao sekitar 1,5 juta ha, semakin menarik investor meningkatkan tanaman kakao
yang menunjang peningkatan volume produksi. Sebab luas lahan perkebunan
kakao itu hanya menghasilkan produksi kakao kurang lebih sebesar 500.000 ton.

Sedangkan untuk menandingi Pantai Gading yang menghasilkan 1,3 juta ton dan
sekaligus melampaui Ghana dengan produksinya 750.000 ton per tahun, Indonesia
butuh investasi untuk ekstensifikasi dan intensifikasi perkebunan kakao.

Belajar dari pengalaman Indonesia mengekspor biji kakao yang rendah kualitas,
maka saatnya perlu menanggulangi problem rendahnya nilai jual kakao dengan
melakukan perbaikan kualitas bahan baku dan produk kakao sehingga ekspor
komoditas tersebut tidak terdiskon lagi.

Bahkan saatnya pemerintah untuk memperbaiki kualitas biji kakao menjadi yang
terbaik sambil meningkatkan produksi menyusul pemberlakukan pungutan ekspor
per awal April 2010 yang lalu. Dengan demikian naiknya kualitas biji kakao dan
produk olahannya itu akan menghilangkan tuntutan diskon dari buyer. Sekaligus
bisa mengangkat bargaining position tanpa gentar menghadapi pedagang asing
yang semakin dominan.

Juka demikian pemerintah perlu memberikan pengertian pada para eksportir
bahwa pungutan BK merupakan bentuk kompensasi atas perbaikan kualitas
kakao. Paling tidak buyer tidak punya alasan lagi untuk menuntut diskon setelah
ada perbaikan kualitas. Bahkan posisi tawar eksportir kita jadi lebih tinggi lagi.
Dengan demikian pungutan ekspor yang dibebankan kepada eksportir kakao bisa
dikembalikan lagi untuk kepentingan eksportir sehingga tidak perlu eksportir
membebankan BK kepada petani kakao.

Disamping itu, industri pengolahan kakao yang selama ini mengimpor bubuk
kakao bisa melirik kakao olahan dalam negeri sehingga 100% bahan baku
terpenuhi dari kandungan lokal. Dengan demikian kualitas biji kakao harus

disempurnakan dengan proses pengolahan lebih dahulu menjadi produk antara
seperti bubuk kakao tadi.

Kementerian Perindustrian perlu mendorong industri pengolahan kakao Indonesia
agar mengoptimalkan seluruh industri pengolahan kakao untuk memanfaatkan
besarnya bahan baku sekaligus menopang revitalisasi industri ini agar bangkit
mengoptimalkan kapasitas terpasangnya. Termasuk menghidupkan kembali
industri yang gulung tikar akibat tersandung pajak ekspor kakao olahan.

Mengundang investor asing untuk mendirikan pabrik pengolahan kakao di
Indonesia memang menjadi harapan. Pemerintah pun perlu membenahi regulasi
yang bisa memancing pabrik pengolahan biji kakao di negara lain untuk
merelokasi industrinya ke Indonesia. Yang penting mereka butuh insentif pajak
dan pembebasan bea keluar produk hilir kakao.

Sama pentingnya mengundang investor untuk terlibat dalam perluasan
tanaman kakao yang bermitra dengan petani kakao dalam skema inti plasma
untuk menghasilkan peningkatan produktivitas kakao. Karena mana mungkin
ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan bisa terjaga kontinuitasnya
tanpa ditopang oleh kekuatan pada industri hulu.

Kelihatannya cukup ideal dari produktivitas berikut kualitas kakao yang semakin
meningkat seimbang dengan pertumbuhan industri pengolahan kakao. Lebih baik
lagi bila eksportir kakao yang tergabung dalam Askindo juga diberikan ruang
untuk bisa mengekspor biji kakao selama ada peningkatan produksi biji kakao
yang melebihi kebutuhan industri pengolahan.

Namun untuk memetik pelajaran dari perkembangan harga kakao dunia ada
baiknya merenungkan fluktuasi harga bagi para pemangku kepentingan.

Seperti ketika terjadi surplus produksi yang waktu itu langsung berpengaruh pada
penurunan harga kakao. Hal itu dialami selama 30 tahun lamanya hingga tahun
2000. Namun defisit produksi pada tahun 2000 telah mendongkrak kenaikan
harga. Lalu disusul surplus produksi pada tahun 2003/2004 yang membuat harga
kakao pun melemah. Namun gairah pengolahan industri kakao dunia mengangkat
harga kembali setelah dipicu oleh peningkatan kapasitas pengolahan biji kakao.

Berarti volume produksi biji kakao dan pengolahan kakao paling dekat dengan
variabel harga komoditas tersebut. Namun ketergantungan volume produksi bahan
baku dan pengolahannya juga tidak bebas dari peran konsumen.

Kualitas Membaik

Kualitas kakao di Provinsi Lampung pada pertengahan April ini mulai membaik
sehingga harganya pun cenderung bertahan tinggi. Mrnurut salah Dodi salah seorang
agen kualitasnya berangsur membaik, tidak seperti beberapa bulan lalu.

Menurut Dodi, biji kakao kini bisa dijemur agak lama untuk menurunkan kadar air
sehubungan berkurangnya curah hujan di wilayah perkebunan Lampung.

Ia menyebutkan kakao bermutu baik yang banyak dipesan eksportir. Untuk
mencapai kualitas seperti itu, salah satu caranya dengan mengeringkan biji kakao
hingga mencapai kadar air terendah. Kakao berkualitas baik kadar airnya harus di

bawah 20%. Makin kering makin baik.

Harga kakao sekarang berkisar Rp15 ribu—Rp16.500/kg, meskipun masih di
bawah harga normalnya Rp18 ribu-Rp20 ribu/kg. Harga ditentukan dari kualitas
barang, jadi dari pihak agen yang menentukan.

Sarjan seorang petani kakao menyebutkan harga kakao saat ini lebih baik bila
dibandingkan dengan bulan lalu, sehingga banyak yang menjual hasil kebunnya
dengan jumlah banyak.

"Setengah dari hasil kebun saya jual karena saat ini harganya sedang bagus,
sisanya belum bisa dipastikan akan dijual kapan, kemungkinan menunggu hingga
kadar airnya berkurang," ungkapnya,

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More