Lokakarya Karet Nasional 2011

Lokakarya Karet Nasional 2011

Lokakarya Karet Nasional 2011

Lokakarya Karet Nasional 2011

Lokakarya Karet Nasional 2011

Lokakarya Gula Nasional 2011

Lokakarya Karet Nasional 2011

Lokakarya Gula Nasional 2011

Rabu, 25 April 2012

Garnas Kakao Masih Dibutuhkan

Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo mengatakan, peningkatan produktivitas kakao yang dicapai Sulsel patut disyukuri. Untuk itu pemerintah harus mendorong terus pelaksanaan Gernas Kakao. Gernas di Sulsel masih sangat dibutuhkan.

Menurut Syahrul, cokelat merupakan kebutuhan dunia yang tidak pernah habis. Hal ini tentu menjadi perhatian sehingga perkebunan kakao dapat menguntungkan bagi rakyat. Selama Gernas di Sulsel, sudah 15 juta bibit disalurkan ke petani. Bahkan direncanakan pada tahun berikutnya menjadi 120 ribu hektar.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sulsel, Burhanuddin Mustafa menuturkan, sektor perkebunan, khususnya kakao merupakan komoditas unggulan pertama. Apalagi areal yang tersedia masih cukup besar yakni 260 ribu hektar daripada lahan yang diikutkan dalam program Gernas Kakao.

Menurut Burhanuddin, Gernas Kakao memang sangat dibutuhkan. Karena itu kalau bisa program besar ini mesti dilanjutkan. Meski pun nantinya namanya bukan lagi Gernas Kakao. Namun program perbaikan kakao tetap dilanjutkan.

“Kami di Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan sangat antusias dengan gerakan ini,” katanya.

Burhanunddi menambahkan, hasil dari ketiga kegiatan Gernas ini yakni peremajaan, rehabilitasi, intensifikasi memberikan hasil siginifikan. Pada kegiatan rehabilitasi, misalnya, semula hanya mencapai 500 kilogram. Namun selama Gernas dengan sambung samping estimasi produksinya rata-rata lebih dari 1 ton.

“Itu pada tahun pertama. Artinya bantuan pemerintah diberikan kepada petani nampak Gernas sangat memberikan hasil signifikan terhadap pendapatan petani,” katanya.

Animo masyarakat tergadap Gernas sendiri cukup tinggi. Bahkan bisa dikatakan mencapai 1000 %. Hal itu dibuktikan dengan adanya kerelaan para petani membongkar tanamannya. Padahal kalau dibongkar itu berarti petani sudah tidak bisa mengharapkan pendapatannya karena harus menunggu sekian waktu. Tapi petani rela membongkarnya.

5.800 ha Disentuh Gernas Sekitar 5.800 hektare lahan kakao di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat akan disentuh program nasional peningkatan mutu dan produksi kakao (Gernas Pro Kakao).

Kepala Bidang Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Sulbar, Tanawali mengatakan, pada 2012 sekitar 5.800 hektare lahan kakao di Mamuju disentuh program gernas yang programnya meliputi rehabilitasi, intensifikasi dan peremajaan kakao.

Menurutnya, program gernas pro kakao merupakan program pemerintah pusat yang dicanangkan di Provinsi Sulbar termasuk di Kabupaten Mamuju sejak 2009.

Menurut dia, dari 5.800 hekatare lahan kakao disentuh gernas pro kakao sekitar 400 hektare diantaranya melalui program peremajaan sementara untuk rehabilitasi dan intensifikasi tanaman kakao masing masing sekitar 2.700 hektare dari program itu.

Tanawali mengatakan, dengan tercakupnya 5.800 hektare lahan kakao di tahun ini maka secara keseluruhan lahan kakao yang tersentuh gernas pro kakao mencapai sekitar 33.850 hektare dari sekitar 65.000 hektare lahan kakao di Mamuju.

Ia mengatakan, pada tahun lalu Kabupaten Mamuju juga sudah menghabiskan dana Rp59 miliar untuk gernas pro kakao bersumber dari APBN

"Anggaran gernas pro kakao yang dikelola Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Mamuju sebesar RP59 miliar itu, telah digunakan peremajaan kakao di lahan 3.000 hektare,"katanya.

Selain itu digunakan untuk program rehabilitasi lahan kakao sekitar 5.200 hektare, serta intensifikasi lahan kakao petani seluas 2.600 hektare. Tanawali berharap, gernas pro kakao tersebut dapat meningkatkan produksi kakao di Mamuju yang tingkat produksinya mencapai 53 ribu ton per tahun.

Peningkatan Produksi

Produksi kakao di Provinsi Sulawesi Barat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan saat ini mampu menghasilkan hingga 129.117 ton.

"Produksi biji kakao yang dihasilkan petani di Sulbar mengalami peningkatan. Jika 2010 yang lalu hanya menghasilkan hingga 101.011 ton, pada 2011 naik menjadi 129.117 ton," ujar Tanawali.

Menurut dia, tingkat produksi kakao Sulbar mengalami peningkatan cukup signifikan berkat terlaksananya program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu (Gernas) Kakao yang dijalankan sejak 2009.

"Program Gernas dicanangkan pada 2008 oleh Wapres (saat itu) Jusuf Kalla. Hasil dari pelaksanaan Gernas di Sulbar telah mampu memberikan kontribusi positif untuk meningkatkan produksi kakao," katanya.

Menurut Tanawali, ada dua kabupaten di Sulbar yang memberikan kontribusi besar bagi peningkatan produksi kakao, yakni Mamuju dengan capaian produksi sekitar 54.797 ton per tahun dengan luas areal 68.236 hektare.

Sementara Kabupaten Polman memberikan kontribusi hingga 35.185 ton per tahun dengan luas areal 49.275 hektare. Untuk kabupaten Mamasa menurutnya hanya memberikan kontribusi sekitar 17.159 ton per tahun dari luas areal sekitar 29.873 hektare, Kabupaten Mamuju Utara sebesar 14.000 ton per hektare dari luas areal 22.946 hektare lalu menyusul Kabupaten Majene dengan tingkat produksi 7.976 ton per tahun dengan dukungan luas areal 11.401 hektare.

Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh mengatakan, Gernas dicanangkan berlangsung tiga tahun dari tahun 2009 hingga akhir 2011.

"Dari hasil koordinasi, saya mengusulkan kepada Bappenas agar program ini tetap dilanjutkan untuk meningkatkan produksi kakao di beberapa provinsi. Hal itu juga mendorong sejumlah provinsi yang belum menerima program Gernas Pro Kakao agar dimasukan dalam program tersebut," ungkap Anwar.

Awal 2012 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Bappenas untuk memasukan komoditas kakao menjadi program unggulan. Bappenas pun memperpanjang program Gernas hingga 2014.

Senin, 23 April 2012

Sawit sebagai Primadona dan Kisruh Lingkungan

Komoditi kelapa sawit sudah menjadi primadona di pasaran, dimana tanaman
ini sudah menguasai hampir seluruh pasar minyak nabati global. Akan tetapi
disamping ketenaran dan kontribusinya bagi pertumbuhan perekonomian Negara,
tanaman ini tidak lepas dari dinamika konflik ekonomi, sosial, dan budaya yang
kental dirasakan belakangan ini.

Pola hubungan yang kurang harmonis antara pemangku kepentingan dengan
masyarakat setempat yang melibatkan pembuat kebijakan menimbulkan pro
dan kontra. Hal ini tentu saja berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi dan
lingkungan setempat, seperti terancamnya kearifan lokal, yang pada akhirnya
terjadi berbagai kasus yang belakangan banyak diberitakan berbagai media massa.

Sudah sepatutnya para pengusaha perkebunan kelapa sawit belajar dari kesalahan
di masa lampau, salah satunya dengan melakukan praktik perkebunan yang
ramah lingkungan sekaligus menjaga hubungan yang baik antara pemilik lahan
dan komunitas lokal. Dengan praktik perkebunan yang baik tentu saja dapat
meningkatkan produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan yang memenuhi
azas kelestarian lingkungan.

Selain itu, juga dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat dan
lingkungan setempat akibat dari konversi lahan menjadi perkebunan, seperti
tersedianya lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan taraf sosial penduduk.
Sebelum melakukan ekspansi lahan perkebunan, sebaiknya pemilik perusahaan
melakukan berbagai pendekatan kepada masyarakat setempat serta menjelaskan
segala dampak yang mungkin terjadi dan cara penanggulangannya.

Dalam melakukan konversi hutan menjadi lahan tidak boleh hanya
menguntungkan salah satu pihak saja. Kemudian perlu adanya MoU yang jelas
antara pemangku kepentingan dengan pihak buruh sehingga akan terbentuk suatu
sistem yang adil.

Perlu Kebijakan Yang Tepat

Perusahaan sebaiknya menerapkan inovasi baru dalam meningkatkan produksi
kelapa sawit, serta melakukan pembinaan dan pendidikan kepada buruh,
sehingga akan terwujud suatu perusahaan ideal yang peduli akan lingkungan dan
masyarakat setempat, yang akhirnya mampu mewujudkan perkebunan yang ramah
lingkungan. Sehingga target pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai
penghasil kelapa sawit terbesar dapat dicapai.

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus membuat suatu sistem peraturan
yang terikat dan harus dijalankan oleh pihak perusahaan. Dengan adanya
peraturan ini, diharapkan para pelaku usaha tidak semena-mena dalam melakukan
konversi hutan menjadi lahan perkebunan, selain itu pemerintah sebaiknya
lebih memihak kepada pengusaha lokal dalam membuat suatu kebijakan. Dan
memberikan apresiasi khusus bagi perusahaan berprestasi dalam meningkatkan
produksi kelapa sawit yang memperhatikan lingkungan.

Namun bentuk apresiasi yang paling dibutuhkan oleh pelaku usaha adalah
kemudahan dalam proses birokrasi, ketersedian sarana dan prasarana, serta
kemudahan dalam melakukan distribusi hasil perkebunan.

Di lain sisi apresiasi khusus harus diberikan kepada perusahaan yang melakukan
ekspansi perkebunan ke lahan gambut dan lahan kritis. Konversi lahan kritis
menjadi perkebunan merupakan salah satu alternatif yang patut di coba,
mengingat luas lahan kritis di Indonesia mencapai 52,5 juta ha. Pemanfaatan
lahan kritis sebagai perkebunan kelapa sawit bisa menjadi langkah awal dalam
mengembalikan ekosistem setempat ke bentuk semula.

Dengan hadirnya perusahaan kelapa sawit di wilayah tertinggal, diharapkan
mampu memberikan kontribusi dalam memicu pertumbuhan ekonomi daerah
terpencil dan mampu menjadi penyeimbang perekonomian di berbagai wilayah
Indonesia.

Selain itu pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus melakukan pengawasan
terhadap setiap perusahaan untuk memastikan mereka menaati peraturan yang ada
dengan mengikuti azas kelestarian lingkungan. Selain itu MoU yang dibuat antara
pemangku kepentingan dengan buruh harus disepakati oleh kedua belah pihak dan
disetujui oleh pemangku kebijakan, sehingga kisruh kepentingan yang berdampak
pada rusaknya lingkungan tidak perlu terjadi.

Ramah Lingkungan

Keberadaan tanaman kelapa sawit selalu jadi topik perbincangan hangat yang
seolah tiada habisnya. Bersamaan itu, tuduhan miring kepada kelapa sawit pun
datang silih berganti. Namun, tuduhan itu kerapkali salah alamat, bahkan sama
sekali tidak mendasar. Faktanya, usaha kelapa sawit terus bertumbuh semakin
membesar.

Peristiwa kebakaran hutan, pembalakan hutan, pembunuhan satwa liar, dan
konflik agraria di negeri ini seringkali disangkutkan dengan perkebunan
kelapa sawit. Mungkin saja, terdapat satu atau dua oknum perusahaan yang
menyimpan ‘api dalam sekam’. Namun, praktik tersebut tidak mencerminkan
perilaku usaha perkebunan kelapa sawit pada umumnya. Janganlah semua
digeneralisasi!

Perusakan lingkungan sangat jauh dari cerminan semangat pekebun kelapa sawit.
Pasalnya, pekebun selalu mencintai tanaman. Bahkan, sejak perkebunan kelapa
sawit diperkenalkan semasa penjajahan Belanda dulu sudah menganut prinsip-
prinsip budidaya yang baik. Apabila menjelajahi lokasi-lokasi perkebunan dengan
tanaman sawit yang berusia tua, kita akan menjumpai pemandangan alam nan asri
dengan kesan apik, teratur dan nyaman.

Di sanalah, persahabatan dengan lingkungan sangat terasa bersentuhan langsung
dengan tumbuhnya perkebunan kelapa sawit. Kehidupan di dalam perkebunan
kelapa sawit kerap bernuansa kekeluargaan, manusia bersahabat dengan
lingkungan, bahkan binatang liar pun leluasa hidup tanpa sedikit pun diganggu.

Selanjutnya, tidak hanya bersahabat dengan lingkungan, kekerabatan dengan
masyarakat sekitar juga sudah dibangun sejak perkebunan kelapa sawit mulai
dibangun. Pasalnya, perkebunan kelapa sawit harus dapat bekerjasama dengan
Pemerintah Daerah hingga Pusat, penduduk sekitar dan pemukiman yang terdapat
di dalamnya. Kerjasama dan saling membangun sudah dimulai, sejak perkebunan
kelapa sawit akan dibangun di daerah tersebut.

Tumbuhnya perumahan pekerja, pemukiman sekitar, pertokoan, sekolah, Rumah

sakit dan berbagai fasilitas umum dan sosial lainnya, sangat mudah dijumpai di
kawasan perkebunan kelapa sawit. Tak jarang pula fasilitas tersebut dibuat dan
dihasilkan dari perusahaan dan petani kelapa sawit yang berhasil membangun
kebunnya.

Pentingnya bekerjasama dengan masyarakat sekitar guna melestarikan
lingkungan dalam membangun perkebunan kelapa sawit harus senantiasa dijaga.
Budaya menanam pohon jangan terputus akibat terlalu banyak isu-isu negatif
yang terus muncul.

Budidaya menanam pohon sambil berusaha hanya mungkin terjadi, apabila ada
keuntungan usaha yang didapat. Dengan keuntungan berusaha yang didapat,
maka bisa terus berusaha dan menjaga kelestarian alam dan terus menanam pohon
kelapa sawit.

Sesuatu tidak mungkin dan akan pernah terjadi, menjaga alam semesta tanpa
melakukan budaya menanam pohon.

Berbagai seminar dan lokakarya yang dilakukan di seluruh dunia selalu
menganjurkan untuk mencegah kerusakan alam dengan menanam pohon.
Bukankah kelapa sawit sebuah pohon yang juga ditanam?

Sebab, dengan tumbuhnya sebuah pohon, maka tumbuhlah sebuah kehidupan
baru. Lingkungan menjadi lebih hijau, hujan dapat terjadi, sehingga alam akan
menjaga ekosistemnya dengan siklus kehidupannya. Daun memasak dengan
menyerap CO2 dan menghasilkan makanan bagi tanaman serta memproduksi
oksigen bagi kehidupan.

Masyarakat pun dapat hidup dengan nyaman. Pasalnya, udara bersih jauh polusi
dan mendapatkan keuntungan berupa buah dari pohon yang ditanam untuk dijual
demi membangun kehidupan yang layak. Lantas, masyarakat mandiri akan
tumbuh dengan pondasi kekokohan pendapatan yang layak untuk hidup.

Lingkungan terjaga dan masyarakat sejahtera didapat dari berkebun kelapa sawit.
Sehingga kesejahteraan yang tumbuh akan menyebar dan merata, sehingga tiada
lagi kecemburan dan konflik sosial yang bakal terjadi. Dengan sejahteranya
kehidupan petani kelapa sawit, maka sejahtera pula kehidupan suatu bangsa besar
yang bernama Indonesia. Jayalah Indonesia dengan Kelapa Sawit.

Harga Karet Kian Meningkat

Harga karet meningkat tertinggi dalam 2 bulan setelah Spanyol menjual surat
utang lebih dari yang ditargetkan dan Dana Moneter Internasional menaikkan
perkiraan ekonomi, mengurangi kekhawatiran permintaan dpat melambat untuk
komdoitas yang digunakan dalam ban.

Harga karet untuk penyerahan September naik 3,2%, terbesar sejak 17 Februari,
menuju 312,3 yen per kilogram atau setara dengan US$3.839 per ton, sebelum
menetap pada 311,9 yen di Tokyo Commodity Exchange.

Kenaikan itu sejalan dengan reli saham Asia setelah IMF meningkatkan proyeksi
pertumbuhan global pada 2012 menjadi 3,5% dari sebelumnya 3,3%. Hal
itu mengurangi kecemasan pasar atas krisis utang Eropa yang menghambat
pemulihan.

Laju harga itu juga terbantu minyak yang diperdagangkan mendekati level
tertinggi 2 minggu, meningkatkan daya tarik karet alam sebagai alternatif untuk
produk sintetis.

“Pasar bereaksi positif terhadap lebih baiknya hasil lelang obligasi Spanyol
daripada yang diharapkan. Selera investor kembali untuk aset berisiko,” kata
Makiko Tsugata, analis perusahaan riset Market Risk Advisory Co,.

Produk berjangka itu juga menguat karena mata uang Jepang melemah terhadap
dolar, membuat kontrak berdenominasi yen lebih menarik bagi investor. Dolar
diburu sebelum data AS yang kemungkinan menunjukkan makin sedikit orang
Amerika mengajukan tunjangan pengangguran.

Di tempat lain, menurut Research Institute of Thailand , harga karet tunai free-
on-board di Negeri Gajah Putih naik 0,2% menjadi 117,85 baht (US$3,83) per
kilogram.

Hujan lebat yang tersebar di seluruh Thailand selatan, daerah produksi utama
negara itu, menyebabkan keterlambatan dalam penyadapan karet dan membatasi
ketersediaan pasokan.

Petani Butuh Wadah Resmi
Petani karet di Bengkulu membutuhkan wadah resmi yang dapat menampung
produknya sehingga lebih mudah dijual langsung ke pedagang besar, lantaran
selama ini petani kerap dikecewakan para tengkulak.

"Kami sudah tidak percaya menjual karet melalui tengkulak atau pedagang
pengumpul karena merugikan petani, terutama masalah jumla timbangan kadang
kala terlalu banyak susutnya," kata seorang petani

Ia mengatakan, para pedagang besar karet di wilayah provinsi tetangga seperti di
Lubuk Linggau dan Kabupaten Musi Rawas, Sumsel seluruhnya sudah memiliki

wadah transaksi.

Bila di Bengkulu sudah ada wadah tersebut, maka petani bisa lepas dari jeratan
pedagang pengumpul dan tengkulak. Petani mengakusetiap menjual karet sepuluh
kilogram dipotong satu kilo gram demikian berikutnya, sehingga bila menjual
dalam jumlah banyak, maka potongannya cukup memberatkan.

Selama ini para pedagang pengumpul langsung membeli ke setiap kebun, dengan
membawa timbangan yang diragukan ukurannya. Namun akibat tidak adanya
alternatif lain terpaksa petani harus menjual pada pedagang tersebut.

Kepala Dinas Perindustria Perdagangan Koperasi/UKM Provinsi Bengkulu Ali
Musramin mengatakan, di Bengkulu mestinya sudah ada wadah transaksi karet
karena kebun masyarakat sudah cukup luas.

Disamping kualitas karet Bengkulu jauh lebih baik dengan karet provinsi tetangga
karena petani karet di Bengkulu sebagian besar dibina oleh petugas kebun inti.
Kebun masyarakat secara perorangan juga belum mengerti akan kecurangan
dalam membuat getah karet asalan tersebut, seperti dicampur tanah, batu dan
lainnya karena mereka murni menggunakan getah karet secara alami.

Sampai saat ini perkumpulan pengusaha karet juga belum ada di Bengkulu,
sehingga informasi akan perkembangan harga karet secara nasional juga sangat
minim," ujarnya.

Pedagang pengumpul karet membeli karet asalan petani hingga saat ini berkisar
antara Rp15.000-Rp16.000 per kilogram, sedangkan harga di provinsi tetangga
rata-rata di atas Rp20.000 per kilogram.

Harga Kakao Olahan tetap Stabil

Harga kakao olahan diperkirakan stabil sampai akhir tahun ini berkisar US$ 4.500
per ton sampai US$ 5.000 per ton, menurut asosiasi industri. Perkiraan tersebut
berpatokan pada kondisi harga bahan baku berupa biji kakao yang diperkirakan
juga stabil.

Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Pieter Jasman
mengatakan, komponen yang paling mempengaruhi harga kakao olahan adalah
bahan baku yang komposisinya mencapai 80%.

"Sisanya untuk energi, kemasan, distribusi dan lainnya. Jika harga bahan bakar
minyak (BBM) subsidi naik, itu tidak akan mempengaruhi harga kakao olahan,"
kata Pieter.

Pieter menerangkan harga bahan baku berfluktuasi mengikuti kondisi pasar dan
pasokan. Data International Cocoa Organization menyebutkan harga biji kakao
olahan tercatat US$ 2.292 per ton di akhir Maret 2012.

Pada kuartal I 2012, harga kakao olahan untuk jenis bubuk dan lainnya mencapai
US$ 4.500 per ton. Harga tersebut turun dibandingkan akhir 2011. Penurunan
harga terjadi seiring masa panen di berbagai negara penghasil kakao dunia.

Tiga negara penghasil kakao dunia antara lain Pantai Gading, Ghana, dan
Indonesia. Pieter memperkirakan harga kakao olahan di kuartal I 2012 tidak akan
jauh berbeda dengan kuartal II 2012.

"Biasanya dari pengalaman kami harga antara kuartal I dan II tidak akan ada
perbedaan," jelasnya.

Direktur Keuangan PT. Prasidha Aneka Sukiantono Budinarta mengatakan, tahun
ini produksi kakao olahan nasional ditargetkan mencapai 550 ribu ton. Kenaikan
produksi dan penjualan seiring pertumbuhan permintaan. PT Prasidha Aneka
Niaga Tbk (PSDN) berencana memulai kembali produksi kakao olahan di 2012
ini setelah beberapa tahun terakhir tidak memproduksi segmen tersebut.

"Kami akan memulai produksi kakao olahan dengan skala produksi yang masih
kecil," ujar Sukiantono Budinarta.

Perseroan memiliki pabrik pengolahan kakao dengan kapasitas produksi 20
ribu ton per tahun. Sejak krisis ekonomi tahun 1998, pabrik tersebut tidak lagi
berproduksi. Prasidha akan memproduksi kakao olahan dengan volume produksi
sebesar 1.000 ton di 2012.

Kecilnya volume produksi kakao olahan perseroan karena proses produksi
setelah lama tidak berproduksi membutuhkan biaya yang besar. Perseroan

akan meningkatkan volume produksi kakao olahan secara bertahap. Prasidha
menargetkan penjualan tahun ini mencapai Rp 1,47 triliun, meningkat 38,67%
dari proyeksi penjualan 2011 sebesar Rp 1,06 triliun. Peningkatan target
ini dipengaruhi oleh kenaikan volume penjualan. Perseroan menargetkan
pertumbuhan volume penjualan di 2012 sebesar 37,9% menjadi 37.568 ton dari
target tahun lalu sebesar 27.240 ton.

Nilai Ekspor

Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) memperkirakan, ekspor kakao olahan pada
2012 bisa mencapai 350.000 ton. Jumlah itu mengalami kenaikan dibandingkan
tahun lalu yang hanya 250.000 ton.

Ketua Askindo Zulhelfi Sikumbang mengatakan, peningkatan ekspor terjadi
karena adanya over supply kakao. Menurutnya, krisis ekonomi Eropa dan
Amerika Serikat (AS), tidak akan berdampak langsung terhadap kinerja ekspor
kakao olahan asal Indonesia.

“Kakao Indonesia tidak pernah ditolak oleh negara lain. Meski harga akan
menjadi turun atau naik karena terjadi krisis, tapi pasar di sana akan tetap ada,”
kata Zulhelfi.

Harga kakao olahan pada tahun ini akan mencapai sekitar USD2.000-USD2.800
per ton. Zulhelfi mengatakan, harga itu hampir sama dengan 2011. “Semenjak
krisis Eropa dan over produksi dari Afrika Barat harga kakao sudah turun 40
persen,” ucapnya.

Sekadar informasi, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, ekspor
kakao olahan Indonesia meningkat dari USD142 juta pada Januari – Mei 2010
menjadi USD216,4 juta pada 2011. Adapun ekspor cokelat untuk periode yang
sama naik dari USD12,2 juta dari tahun lalu menjadi USD16 juta pada 2011.

Di sisi lain, ekspor biji kako turun dari USD448,3 juta pada tiga bulan pertama
tahun lalu menjadi USD289,4 juta pada 2011.

Terkait produksi pada tahun ini, dia menjelaskan, akan mencapai 500.000 ton,
atau naik dibandingkan 2011 yang sebesar 420.000 ton. Peningkatan produksi,
kata dia, didorong oleh iklim cuaca yang baik. Sedangkan pada 2011, produksi
merosot tajam akibat anomali cuaca yang buruk.

“Pada 2010 yang lalu produksi kakao Indonesia sempat mencapai angka 575.000
ton, sayangnya pada 2011 mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 420.000
ton karena musim kemarau bertemu dengan musim hujan,” ungkapnya.

Harga Kakao Melemah

Pada penutupan perdagangan di bursa ICE Futures dini hari tadi harga kakao
berjangka tampak mengalami penurunan yang cukup signifikan . Harga komoditas
ini anjlok setelah sebelumnya sempat mengalami rally selama lima sesi berturut-
turut. Penurunan terjadi di tengah kekhawatiran bahwa krisis Eropa akan
mengakibatkan kerentanan baru pada ekonomi global.

Kondisi keuangan kawasan euro belum sepenuhnya pulih. Bahkan saat ini
dikhawatirkan Spanyol akan menyusul Yunani dan terpaksa meminta bantuan
pendanaan dari pihak luar. Kondisi ini bakal menyebabkan penurunan permintaan
sehingga harga sebagian besar komoditas terpukul, termasuk juga di bursa saham.

Harga kakao berjangka untuk kontrak Juli saat ini merupakan kontrak paling aktif
diperdagangkan. Harga komoditas ini di bursa ICE Futures tampak mengalami
penurunan sebesar 4 dolar (1.05%) dan berakhir pada posisi 2257 dolar per
ton. Sedangkan harga komoditas di bursa NYSE tampak mengalami penurunan
sebesar 7 poundsterling (0.47%) di posisi 1479 poundsterling per ton.

Analis Vibiz Research dari Vibiz Consulting memperkirakan bahwa pergerakan
harga komoditas masih akan cenderung berada dalam trend yang sideways,
dengan trend minor yang menguat. Saat ini harga kakao berjangka diperkirakan
masih akan berada pada kisaran 2000 - 2300 dolar per ton.

Impor Kakao

Indonesia menduduki peringkat tiga produsen kakao dunia setelah Pantai Gading
dan Ghana. Namun faktanya industri pengolahan masih impor bubuk kakao rata-
rata 22.000 ton per tahun yang merupakan 15% dari total kebutuhan di dalam
negeri.

impor bubuk kakao yang dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kualitas
produk dari bahan baku impor pilihan. Mengingat Produsen tidak bisa
mengandalkan kakao Indonesia yang sebagian besar hasil produksinya tidak
difermentasi.

Dinie Suryani dan Zulfebriansyah dalam Economic Review menyebutkan bahwa
pengelolaan produk kakao masih bersifat tradisional. Dimana 85% biji kakao
yang diproduksi secara nasional tidak difermentasi. Artinya, komoditas tersebut
memiliki kualitas biji yang sangat rendah.

Ekspor komoditas kakao yang berkualitas rendah itu telah menjatuhkan harga
komoditas. Dinie Suryani dan Zulfebriansyah menyebut buyer menuntut
diskon sebesar USD. 200/ton atau 10%-15% dari harga pasar. Bila merujuk pada
perkembangan terakhir yang disampaikan Wakil Menteri Perdagangan Bayu
Krisnamurthi perihal diskon harga, maka besaran diskon sebesar USD. 500 per
ton di pasar new york yang sebelumnya hanya USD. 100 per ton adalah angka
yang cukup memberatkan eksportir.

Di satu sisi ekspor dibawah harga wajar karena tuntutan diskon, di sisi lain ada
kesempatan yang hilang untuk mendapatkan nilai tambah karena tidak dilakukan
proses pengolahan lebih lanjut. Artinya problem kualitas bahan baku untuk ekspor
dan belum tergarapnya proses pengolahan lebih lanjut.

Padahal kesempatan untuk mengolah biji kakao bisa menghasilkan variasi
produk olahan seperti untuk produk antara yang meliputi cocoa powder, cocoa
butter, dan cocoa liquor dan untuk produk akhir berupa coklat. Bila semakin
meningkat kapasitas produksinya dengan semakin banyak variasi produk antara
dan produk akhir yang diciptakannya akan semakin menyumbang devisa bagi
negara dibanding perolehan devisa dari ekspor biji kakao.

Sedangkan untuk kepentingan ekonomi, ada sumbangan pertumbuhan yang
berkualitas dan serapan tenaga kerja yang lebih besar dibanding hanya
mengandalkan ekspor komoditas kakao dalam kondisi “gelondongan”.

Predikat nomor tiga produsen biji kakao dunia yang disandang Indonesia masih
bisa ditingkatkan untuk menjadi yang pertama. Indonesia setidaknya memiliki
keunggulan dalam pengadaan bahan baku kakao kalau bisa mencetak perkebunan
baru. Karena potensi alam yang luas sangat mendukung pencapaian Indonesia
menjadi nomor satu dalam produksi kakao.

Tentu saja investasi untuk menambah kapasitas lahan dari luas perkebunan
kakao sekitar 1,5 juta ha, semakin menarik investor meningkatkan tanaman kakao
yang menunjang peningkatan volume produksi. Sebab luas lahan perkebunan
kakao itu hanya menghasilkan produksi kakao kurang lebih sebesar 500.000 ton.

Sedangkan untuk menandingi Pantai Gading yang menghasilkan 1,3 juta ton dan
sekaligus melampaui Ghana dengan produksinya 750.000 ton per tahun, Indonesia
butuh investasi untuk ekstensifikasi dan intensifikasi perkebunan kakao.

Belajar dari pengalaman Indonesia mengekspor biji kakao yang rendah kualitas,
maka saatnya perlu menanggulangi problem rendahnya nilai jual kakao dengan
melakukan perbaikan kualitas bahan baku dan produk kakao sehingga ekspor
komoditas tersebut tidak terdiskon lagi.

Bahkan saatnya pemerintah untuk memperbaiki kualitas biji kakao menjadi yang
terbaik sambil meningkatkan produksi menyusul pemberlakukan pungutan ekspor
per awal April 2010 yang lalu. Dengan demikian naiknya kualitas biji kakao dan
produk olahannya itu akan menghilangkan tuntutan diskon dari buyer. Sekaligus
bisa mengangkat bargaining position tanpa gentar menghadapi pedagang asing
yang semakin dominan.

Juka demikian pemerintah perlu memberikan pengertian pada para eksportir
bahwa pungutan BK merupakan bentuk kompensasi atas perbaikan kualitas
kakao. Paling tidak buyer tidak punya alasan lagi untuk menuntut diskon setelah
ada perbaikan kualitas. Bahkan posisi tawar eksportir kita jadi lebih tinggi lagi.
Dengan demikian pungutan ekspor yang dibebankan kepada eksportir kakao bisa
dikembalikan lagi untuk kepentingan eksportir sehingga tidak perlu eksportir
membebankan BK kepada petani kakao.

Disamping itu, industri pengolahan kakao yang selama ini mengimpor bubuk
kakao bisa melirik kakao olahan dalam negeri sehingga 100% bahan baku
terpenuhi dari kandungan lokal. Dengan demikian kualitas biji kakao harus

disempurnakan dengan proses pengolahan lebih dahulu menjadi produk antara
seperti bubuk kakao tadi.

Kementerian Perindustrian perlu mendorong industri pengolahan kakao Indonesia
agar mengoptimalkan seluruh industri pengolahan kakao untuk memanfaatkan
besarnya bahan baku sekaligus menopang revitalisasi industri ini agar bangkit
mengoptimalkan kapasitas terpasangnya. Termasuk menghidupkan kembali
industri yang gulung tikar akibat tersandung pajak ekspor kakao olahan.

Mengundang investor asing untuk mendirikan pabrik pengolahan kakao di
Indonesia memang menjadi harapan. Pemerintah pun perlu membenahi regulasi
yang bisa memancing pabrik pengolahan biji kakao di negara lain untuk
merelokasi industrinya ke Indonesia. Yang penting mereka butuh insentif pajak
dan pembebasan bea keluar produk hilir kakao.

Sama pentingnya mengundang investor untuk terlibat dalam perluasan
tanaman kakao yang bermitra dengan petani kakao dalam skema inti plasma
untuk menghasilkan peningkatan produktivitas kakao. Karena mana mungkin
ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan bisa terjaga kontinuitasnya
tanpa ditopang oleh kekuatan pada industri hulu.

Kelihatannya cukup ideal dari produktivitas berikut kualitas kakao yang semakin
meningkat seimbang dengan pertumbuhan industri pengolahan kakao. Lebih baik
lagi bila eksportir kakao yang tergabung dalam Askindo juga diberikan ruang
untuk bisa mengekspor biji kakao selama ada peningkatan produksi biji kakao
yang melebihi kebutuhan industri pengolahan.

Namun untuk memetik pelajaran dari perkembangan harga kakao dunia ada
baiknya merenungkan fluktuasi harga bagi para pemangku kepentingan.

Seperti ketika terjadi surplus produksi yang waktu itu langsung berpengaruh pada
penurunan harga kakao. Hal itu dialami selama 30 tahun lamanya hingga tahun
2000. Namun defisit produksi pada tahun 2000 telah mendongkrak kenaikan
harga. Lalu disusul surplus produksi pada tahun 2003/2004 yang membuat harga
kakao pun melemah. Namun gairah pengolahan industri kakao dunia mengangkat
harga kembali setelah dipicu oleh peningkatan kapasitas pengolahan biji kakao.

Berarti volume produksi biji kakao dan pengolahan kakao paling dekat dengan
variabel harga komoditas tersebut. Namun ketergantungan volume produksi bahan
baku dan pengolahannya juga tidak bebas dari peran konsumen.

Kualitas Membaik

Kualitas kakao di Provinsi Lampung pada pertengahan April ini mulai membaik
sehingga harganya pun cenderung bertahan tinggi. Mrnurut salah Dodi salah seorang
agen kualitasnya berangsur membaik, tidak seperti beberapa bulan lalu.

Menurut Dodi, biji kakao kini bisa dijemur agak lama untuk menurunkan kadar air
sehubungan berkurangnya curah hujan di wilayah perkebunan Lampung.

Ia menyebutkan kakao bermutu baik yang banyak dipesan eksportir. Untuk
mencapai kualitas seperti itu, salah satu caranya dengan mengeringkan biji kakao
hingga mencapai kadar air terendah. Kakao berkualitas baik kadar airnya harus di

bawah 20%. Makin kering makin baik.

Harga kakao sekarang berkisar Rp15 ribu—Rp16.500/kg, meskipun masih di
bawah harga normalnya Rp18 ribu-Rp20 ribu/kg. Harga ditentukan dari kualitas
barang, jadi dari pihak agen yang menentukan.

Sarjan seorang petani kakao menyebutkan harga kakao saat ini lebih baik bila
dibandingkan dengan bulan lalu, sehingga banyak yang menjual hasil kebunnya
dengan jumlah banyak.

"Setengah dari hasil kebun saya jual karena saat ini harganya sedang bagus,
sisanya belum bisa dipastikan akan dijual kapan, kemungkinan menunggu hingga
kadar airnya berkurang," ungkapnya,

Rabu, 18 April 2012

Mentan: perkebunan bantu perbesar pendapatan negara

Palangka Raya (ANTARA News) - Usaha perkebunan yang prospektif di Indonesia terbukti sangat membantu memperbesar dan meningkatkan Pendapatan Negara seperti pada 2010 devisa ekspor perkebunan tercatat melebihi 20 miliar dolar Amerika Serikat (AS).

Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (Kalteng) Erman P Ranan di Palangka Raya, Minggu, mengatakan pernyataan itu disampaikan Menteri Pertanian ketika melakukan kunjungan kerja di Kalteng Sabtu.

Menteri Pertanian Suswono mengatakan, perkebunan merupakan penghasil devisa, penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja, sumber bahan buku industri, pengembangan ekonomi wilayah, dan berperan dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

"Dilihat kontribusi perkebunan terhadap penerimaan devisa ekspor perkebunan pada 2010 melebihi 20 miliar dolar AS, terutama produk-produk kelapa sawit sekitar 15,4 miliar dolar AS," kata Suswono.

Kemudian ditambah lagi dari produksi Karet sebesar 7,4 miliar dolar AS, kakau 1,6 miliar dolar AS, kopi 0,8 miliar dolar AS, dan kelapa 0,7 miliar dolar AS.

Selain itu, depisa ekspor penerimaan negara dari cukai rokok sekitar Rp63 triliun, bea keluar minyak kelapa sawit Rp20 triliun dan bea keluar ekspor biji kakau Januari 2010-Februari 2011 mencapai Rp1,615 miliar.

Dari aspek tenaga kerja, pembangunan perkebunan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 19,7 juta orang di sektor onpak, penyerapan tenaga kerja akan besar untuk sektor opam/industri hilir perkebunan baik pengolahan maupun jasa pendukung.

"Hampir semua produk perkebunan harus diolah sebelum sampai ke konsumen seperti industri ban dan industri karet lainnya, minyak goreng, coklat, kopi, teh, dan gula. Ini bukti melimpahnya produk perkebunan yang harus diolah," tegasnya.

Menteri mengatakan, pengembangan industri berbasis perkebunan tentunya memberi nilai tambah bagi komoditi dalam negeri. Diharapkan produk-produk ini dapat dijual dalam finish produk sehingga memiliki nilai tambah yang jauh lebih besar.

Pengembangan perkebunan pada umumnya dilakukan di wilayah pengembangan baru, bahkan pembangunan perkebunan dapat menjadi pembangunan ekonomi wilayah, khusunnya di daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Tanaman perkebunan mayoritas dalam bentuk pohon dan ini memiliki nilai ekonomis, di samping potensi hidrokornogis sebagai penahan erosi, konservasi lahan dan air, serta fungsi eidrologis sebagai pegetasi CO2 dan produsen O2.

"Komoditi perkebunan juga berfotensi mengurangi emisi CO2, apabila komoditi perkebunan bisa dikembangkan untuk merehabilitasai semak belukar, jangan biarkan lahan tersebut ditumbuhi semak belukar dan alang-alang saja," ungkapnya.

Simpanan CO2 pada lahan perkebunan dinilai lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan-lahan terlantar, meski perkembangan perkebunan sampai saat ini tidak serta-merta seperti yang diinginkan, katanya.
(ANT-320/S019)

sumber: www.antaranews.com

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More