Lokakarya Karet Nasional 2011

Lokakarya Karet Nasional 2011

Lokakarya Karet Nasional 2011

Lokakarya Karet Nasional 2011

Lokakarya Karet Nasional 2011

Lokakarya Gula Nasional 2011

Lokakarya Karet Nasional 2011

Lokakarya Gula Nasional 2011

Rabu, 25 April 2012

Garnas Kakao Masih Dibutuhkan

Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo mengatakan, peningkatan produktivitas kakao yang dicapai Sulsel patut disyukuri. Untuk itu pemerintah harus mendorong terus pelaksanaan Gernas Kakao. Gernas di Sulsel masih sangat dibutuhkan.

Menurut Syahrul, cokelat merupakan kebutuhan dunia yang tidak pernah habis. Hal ini tentu menjadi perhatian sehingga perkebunan kakao dapat menguntungkan bagi rakyat. Selama Gernas di Sulsel, sudah 15 juta bibit disalurkan ke petani. Bahkan direncanakan pada tahun berikutnya menjadi 120 ribu hektar.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Sulsel, Burhanuddin Mustafa menuturkan, sektor perkebunan, khususnya kakao merupakan komoditas unggulan pertama. Apalagi areal yang tersedia masih cukup besar yakni 260 ribu hektar daripada lahan yang diikutkan dalam program Gernas Kakao.

Menurut Burhanuddin, Gernas Kakao memang sangat dibutuhkan. Karena itu kalau bisa program besar ini mesti dilanjutkan. Meski pun nantinya namanya bukan lagi Gernas Kakao. Namun program perbaikan kakao tetap dilanjutkan.

“Kami di Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan sangat antusias dengan gerakan ini,” katanya.

Burhanunddi menambahkan, hasil dari ketiga kegiatan Gernas ini yakni peremajaan, rehabilitasi, intensifikasi memberikan hasil siginifikan. Pada kegiatan rehabilitasi, misalnya, semula hanya mencapai 500 kilogram. Namun selama Gernas dengan sambung samping estimasi produksinya rata-rata lebih dari 1 ton.

“Itu pada tahun pertama. Artinya bantuan pemerintah diberikan kepada petani nampak Gernas sangat memberikan hasil signifikan terhadap pendapatan petani,” katanya.

Animo masyarakat tergadap Gernas sendiri cukup tinggi. Bahkan bisa dikatakan mencapai 1000 %. Hal itu dibuktikan dengan adanya kerelaan para petani membongkar tanamannya. Padahal kalau dibongkar itu berarti petani sudah tidak bisa mengharapkan pendapatannya karena harus menunggu sekian waktu. Tapi petani rela membongkarnya.

5.800 ha Disentuh Gernas Sekitar 5.800 hektare lahan kakao di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat akan disentuh program nasional peningkatan mutu dan produksi kakao (Gernas Pro Kakao).

Kepala Bidang Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Sulbar, Tanawali mengatakan, pada 2012 sekitar 5.800 hektare lahan kakao di Mamuju disentuh program gernas yang programnya meliputi rehabilitasi, intensifikasi dan peremajaan kakao.

Menurutnya, program gernas pro kakao merupakan program pemerintah pusat yang dicanangkan di Provinsi Sulbar termasuk di Kabupaten Mamuju sejak 2009.

Menurut dia, dari 5.800 hekatare lahan kakao disentuh gernas pro kakao sekitar 400 hektare diantaranya melalui program peremajaan sementara untuk rehabilitasi dan intensifikasi tanaman kakao masing masing sekitar 2.700 hektare dari program itu.

Tanawali mengatakan, dengan tercakupnya 5.800 hektare lahan kakao di tahun ini maka secara keseluruhan lahan kakao yang tersentuh gernas pro kakao mencapai sekitar 33.850 hektare dari sekitar 65.000 hektare lahan kakao di Mamuju.

Ia mengatakan, pada tahun lalu Kabupaten Mamuju juga sudah menghabiskan dana Rp59 miliar untuk gernas pro kakao bersumber dari APBN

"Anggaran gernas pro kakao yang dikelola Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Mamuju sebesar RP59 miliar itu, telah digunakan peremajaan kakao di lahan 3.000 hektare,"katanya.

Selain itu digunakan untuk program rehabilitasi lahan kakao sekitar 5.200 hektare, serta intensifikasi lahan kakao petani seluas 2.600 hektare. Tanawali berharap, gernas pro kakao tersebut dapat meningkatkan produksi kakao di Mamuju yang tingkat produksinya mencapai 53 ribu ton per tahun.

Peningkatan Produksi

Produksi kakao di Provinsi Sulawesi Barat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan saat ini mampu menghasilkan hingga 129.117 ton.

"Produksi biji kakao yang dihasilkan petani di Sulbar mengalami peningkatan. Jika 2010 yang lalu hanya menghasilkan hingga 101.011 ton, pada 2011 naik menjadi 129.117 ton," ujar Tanawali.

Menurut dia, tingkat produksi kakao Sulbar mengalami peningkatan cukup signifikan berkat terlaksananya program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu (Gernas) Kakao yang dijalankan sejak 2009.

"Program Gernas dicanangkan pada 2008 oleh Wapres (saat itu) Jusuf Kalla. Hasil dari pelaksanaan Gernas di Sulbar telah mampu memberikan kontribusi positif untuk meningkatkan produksi kakao," katanya.

Menurut Tanawali, ada dua kabupaten di Sulbar yang memberikan kontribusi besar bagi peningkatan produksi kakao, yakni Mamuju dengan capaian produksi sekitar 54.797 ton per tahun dengan luas areal 68.236 hektare.

Sementara Kabupaten Polman memberikan kontribusi hingga 35.185 ton per tahun dengan luas areal 49.275 hektare. Untuk kabupaten Mamasa menurutnya hanya memberikan kontribusi sekitar 17.159 ton per tahun dari luas areal sekitar 29.873 hektare, Kabupaten Mamuju Utara sebesar 14.000 ton per hektare dari luas areal 22.946 hektare lalu menyusul Kabupaten Majene dengan tingkat produksi 7.976 ton per tahun dengan dukungan luas areal 11.401 hektare.

Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh mengatakan, Gernas dicanangkan berlangsung tiga tahun dari tahun 2009 hingga akhir 2011.

"Dari hasil koordinasi, saya mengusulkan kepada Bappenas agar program ini tetap dilanjutkan untuk meningkatkan produksi kakao di beberapa provinsi. Hal itu juga mendorong sejumlah provinsi yang belum menerima program Gernas Pro Kakao agar dimasukan dalam program tersebut," ungkap Anwar.

Awal 2012 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Bappenas untuk memasukan komoditas kakao menjadi program unggulan. Bappenas pun memperpanjang program Gernas hingga 2014.

Senin, 23 April 2012

Sawit sebagai Primadona dan Kisruh Lingkungan

Komoditi kelapa sawit sudah menjadi primadona di pasaran, dimana tanaman
ini sudah menguasai hampir seluruh pasar minyak nabati global. Akan tetapi
disamping ketenaran dan kontribusinya bagi pertumbuhan perekonomian Negara,
tanaman ini tidak lepas dari dinamika konflik ekonomi, sosial, dan budaya yang
kental dirasakan belakangan ini.

Pola hubungan yang kurang harmonis antara pemangku kepentingan dengan
masyarakat setempat yang melibatkan pembuat kebijakan menimbulkan pro
dan kontra. Hal ini tentu saja berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi dan
lingkungan setempat, seperti terancamnya kearifan lokal, yang pada akhirnya
terjadi berbagai kasus yang belakangan banyak diberitakan berbagai media massa.

Sudah sepatutnya para pengusaha perkebunan kelapa sawit belajar dari kesalahan
di masa lampau, salah satunya dengan melakukan praktik perkebunan yang
ramah lingkungan sekaligus menjaga hubungan yang baik antara pemilik lahan
dan komunitas lokal. Dengan praktik perkebunan yang baik tentu saja dapat
meningkatkan produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan yang memenuhi
azas kelestarian lingkungan.

Selain itu, juga dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat dan
lingkungan setempat akibat dari konversi lahan menjadi perkebunan, seperti
tersedianya lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan taraf sosial penduduk.
Sebelum melakukan ekspansi lahan perkebunan, sebaiknya pemilik perusahaan
melakukan berbagai pendekatan kepada masyarakat setempat serta menjelaskan
segala dampak yang mungkin terjadi dan cara penanggulangannya.

Dalam melakukan konversi hutan menjadi lahan tidak boleh hanya
menguntungkan salah satu pihak saja. Kemudian perlu adanya MoU yang jelas
antara pemangku kepentingan dengan pihak buruh sehingga akan terbentuk suatu
sistem yang adil.

Perlu Kebijakan Yang Tepat

Perusahaan sebaiknya menerapkan inovasi baru dalam meningkatkan produksi
kelapa sawit, serta melakukan pembinaan dan pendidikan kepada buruh,
sehingga akan terwujud suatu perusahaan ideal yang peduli akan lingkungan dan
masyarakat setempat, yang akhirnya mampu mewujudkan perkebunan yang ramah
lingkungan. Sehingga target pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai
penghasil kelapa sawit terbesar dapat dicapai.

Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus membuat suatu sistem peraturan
yang terikat dan harus dijalankan oleh pihak perusahaan. Dengan adanya
peraturan ini, diharapkan para pelaku usaha tidak semena-mena dalam melakukan
konversi hutan menjadi lahan perkebunan, selain itu pemerintah sebaiknya
lebih memihak kepada pengusaha lokal dalam membuat suatu kebijakan. Dan
memberikan apresiasi khusus bagi perusahaan berprestasi dalam meningkatkan
produksi kelapa sawit yang memperhatikan lingkungan.

Namun bentuk apresiasi yang paling dibutuhkan oleh pelaku usaha adalah
kemudahan dalam proses birokrasi, ketersedian sarana dan prasarana, serta
kemudahan dalam melakukan distribusi hasil perkebunan.

Di lain sisi apresiasi khusus harus diberikan kepada perusahaan yang melakukan
ekspansi perkebunan ke lahan gambut dan lahan kritis. Konversi lahan kritis
menjadi perkebunan merupakan salah satu alternatif yang patut di coba,
mengingat luas lahan kritis di Indonesia mencapai 52,5 juta ha. Pemanfaatan
lahan kritis sebagai perkebunan kelapa sawit bisa menjadi langkah awal dalam
mengembalikan ekosistem setempat ke bentuk semula.

Dengan hadirnya perusahaan kelapa sawit di wilayah tertinggal, diharapkan
mampu memberikan kontribusi dalam memicu pertumbuhan ekonomi daerah
terpencil dan mampu menjadi penyeimbang perekonomian di berbagai wilayah
Indonesia.

Selain itu pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus melakukan pengawasan
terhadap setiap perusahaan untuk memastikan mereka menaati peraturan yang ada
dengan mengikuti azas kelestarian lingkungan. Selain itu MoU yang dibuat antara
pemangku kepentingan dengan buruh harus disepakati oleh kedua belah pihak dan
disetujui oleh pemangku kebijakan, sehingga kisruh kepentingan yang berdampak
pada rusaknya lingkungan tidak perlu terjadi.

Ramah Lingkungan

Keberadaan tanaman kelapa sawit selalu jadi topik perbincangan hangat yang
seolah tiada habisnya. Bersamaan itu, tuduhan miring kepada kelapa sawit pun
datang silih berganti. Namun, tuduhan itu kerapkali salah alamat, bahkan sama
sekali tidak mendasar. Faktanya, usaha kelapa sawit terus bertumbuh semakin
membesar.

Peristiwa kebakaran hutan, pembalakan hutan, pembunuhan satwa liar, dan
konflik agraria di negeri ini seringkali disangkutkan dengan perkebunan
kelapa sawit. Mungkin saja, terdapat satu atau dua oknum perusahaan yang
menyimpan ‘api dalam sekam’. Namun, praktik tersebut tidak mencerminkan
perilaku usaha perkebunan kelapa sawit pada umumnya. Janganlah semua
digeneralisasi!

Perusakan lingkungan sangat jauh dari cerminan semangat pekebun kelapa sawit.
Pasalnya, pekebun selalu mencintai tanaman. Bahkan, sejak perkebunan kelapa
sawit diperkenalkan semasa penjajahan Belanda dulu sudah menganut prinsip-
prinsip budidaya yang baik. Apabila menjelajahi lokasi-lokasi perkebunan dengan
tanaman sawit yang berusia tua, kita akan menjumpai pemandangan alam nan asri
dengan kesan apik, teratur dan nyaman.

Di sanalah, persahabatan dengan lingkungan sangat terasa bersentuhan langsung
dengan tumbuhnya perkebunan kelapa sawit. Kehidupan di dalam perkebunan
kelapa sawit kerap bernuansa kekeluargaan, manusia bersahabat dengan
lingkungan, bahkan binatang liar pun leluasa hidup tanpa sedikit pun diganggu.

Selanjutnya, tidak hanya bersahabat dengan lingkungan, kekerabatan dengan
masyarakat sekitar juga sudah dibangun sejak perkebunan kelapa sawit mulai
dibangun. Pasalnya, perkebunan kelapa sawit harus dapat bekerjasama dengan
Pemerintah Daerah hingga Pusat, penduduk sekitar dan pemukiman yang terdapat
di dalamnya. Kerjasama dan saling membangun sudah dimulai, sejak perkebunan
kelapa sawit akan dibangun di daerah tersebut.

Tumbuhnya perumahan pekerja, pemukiman sekitar, pertokoan, sekolah, Rumah

sakit dan berbagai fasilitas umum dan sosial lainnya, sangat mudah dijumpai di
kawasan perkebunan kelapa sawit. Tak jarang pula fasilitas tersebut dibuat dan
dihasilkan dari perusahaan dan petani kelapa sawit yang berhasil membangun
kebunnya.

Pentingnya bekerjasama dengan masyarakat sekitar guna melestarikan
lingkungan dalam membangun perkebunan kelapa sawit harus senantiasa dijaga.
Budaya menanam pohon jangan terputus akibat terlalu banyak isu-isu negatif
yang terus muncul.

Budidaya menanam pohon sambil berusaha hanya mungkin terjadi, apabila ada
keuntungan usaha yang didapat. Dengan keuntungan berusaha yang didapat,
maka bisa terus berusaha dan menjaga kelestarian alam dan terus menanam pohon
kelapa sawit.

Sesuatu tidak mungkin dan akan pernah terjadi, menjaga alam semesta tanpa
melakukan budaya menanam pohon.

Berbagai seminar dan lokakarya yang dilakukan di seluruh dunia selalu
menganjurkan untuk mencegah kerusakan alam dengan menanam pohon.
Bukankah kelapa sawit sebuah pohon yang juga ditanam?

Sebab, dengan tumbuhnya sebuah pohon, maka tumbuhlah sebuah kehidupan
baru. Lingkungan menjadi lebih hijau, hujan dapat terjadi, sehingga alam akan
menjaga ekosistemnya dengan siklus kehidupannya. Daun memasak dengan
menyerap CO2 dan menghasilkan makanan bagi tanaman serta memproduksi
oksigen bagi kehidupan.

Masyarakat pun dapat hidup dengan nyaman. Pasalnya, udara bersih jauh polusi
dan mendapatkan keuntungan berupa buah dari pohon yang ditanam untuk dijual
demi membangun kehidupan yang layak. Lantas, masyarakat mandiri akan
tumbuh dengan pondasi kekokohan pendapatan yang layak untuk hidup.

Lingkungan terjaga dan masyarakat sejahtera didapat dari berkebun kelapa sawit.
Sehingga kesejahteraan yang tumbuh akan menyebar dan merata, sehingga tiada
lagi kecemburan dan konflik sosial yang bakal terjadi. Dengan sejahteranya
kehidupan petani kelapa sawit, maka sejahtera pula kehidupan suatu bangsa besar
yang bernama Indonesia. Jayalah Indonesia dengan Kelapa Sawit.

Harga Karet Kian Meningkat

Harga karet meningkat tertinggi dalam 2 bulan setelah Spanyol menjual surat
utang lebih dari yang ditargetkan dan Dana Moneter Internasional menaikkan
perkiraan ekonomi, mengurangi kekhawatiran permintaan dpat melambat untuk
komdoitas yang digunakan dalam ban.

Harga karet untuk penyerahan September naik 3,2%, terbesar sejak 17 Februari,
menuju 312,3 yen per kilogram atau setara dengan US$3.839 per ton, sebelum
menetap pada 311,9 yen di Tokyo Commodity Exchange.

Kenaikan itu sejalan dengan reli saham Asia setelah IMF meningkatkan proyeksi
pertumbuhan global pada 2012 menjadi 3,5% dari sebelumnya 3,3%. Hal
itu mengurangi kecemasan pasar atas krisis utang Eropa yang menghambat
pemulihan.

Laju harga itu juga terbantu minyak yang diperdagangkan mendekati level
tertinggi 2 minggu, meningkatkan daya tarik karet alam sebagai alternatif untuk
produk sintetis.

“Pasar bereaksi positif terhadap lebih baiknya hasil lelang obligasi Spanyol
daripada yang diharapkan. Selera investor kembali untuk aset berisiko,” kata
Makiko Tsugata, analis perusahaan riset Market Risk Advisory Co,.

Produk berjangka itu juga menguat karena mata uang Jepang melemah terhadap
dolar, membuat kontrak berdenominasi yen lebih menarik bagi investor. Dolar
diburu sebelum data AS yang kemungkinan menunjukkan makin sedikit orang
Amerika mengajukan tunjangan pengangguran.

Di tempat lain, menurut Research Institute of Thailand , harga karet tunai free-
on-board di Negeri Gajah Putih naik 0,2% menjadi 117,85 baht (US$3,83) per
kilogram.

Hujan lebat yang tersebar di seluruh Thailand selatan, daerah produksi utama
negara itu, menyebabkan keterlambatan dalam penyadapan karet dan membatasi
ketersediaan pasokan.

Petani Butuh Wadah Resmi
Petani karet di Bengkulu membutuhkan wadah resmi yang dapat menampung
produknya sehingga lebih mudah dijual langsung ke pedagang besar, lantaran
selama ini petani kerap dikecewakan para tengkulak.

"Kami sudah tidak percaya menjual karet melalui tengkulak atau pedagang
pengumpul karena merugikan petani, terutama masalah jumla timbangan kadang
kala terlalu banyak susutnya," kata seorang petani

Ia mengatakan, para pedagang besar karet di wilayah provinsi tetangga seperti di
Lubuk Linggau dan Kabupaten Musi Rawas, Sumsel seluruhnya sudah memiliki

wadah transaksi.

Bila di Bengkulu sudah ada wadah tersebut, maka petani bisa lepas dari jeratan
pedagang pengumpul dan tengkulak. Petani mengakusetiap menjual karet sepuluh
kilogram dipotong satu kilo gram demikian berikutnya, sehingga bila menjual
dalam jumlah banyak, maka potongannya cukup memberatkan.

Selama ini para pedagang pengumpul langsung membeli ke setiap kebun, dengan
membawa timbangan yang diragukan ukurannya. Namun akibat tidak adanya
alternatif lain terpaksa petani harus menjual pada pedagang tersebut.

Kepala Dinas Perindustria Perdagangan Koperasi/UKM Provinsi Bengkulu Ali
Musramin mengatakan, di Bengkulu mestinya sudah ada wadah transaksi karet
karena kebun masyarakat sudah cukup luas.

Disamping kualitas karet Bengkulu jauh lebih baik dengan karet provinsi tetangga
karena petani karet di Bengkulu sebagian besar dibina oleh petugas kebun inti.
Kebun masyarakat secara perorangan juga belum mengerti akan kecurangan
dalam membuat getah karet asalan tersebut, seperti dicampur tanah, batu dan
lainnya karena mereka murni menggunakan getah karet secara alami.

Sampai saat ini perkumpulan pengusaha karet juga belum ada di Bengkulu,
sehingga informasi akan perkembangan harga karet secara nasional juga sangat
minim," ujarnya.

Pedagang pengumpul karet membeli karet asalan petani hingga saat ini berkisar
antara Rp15.000-Rp16.000 per kilogram, sedangkan harga di provinsi tetangga
rata-rata di atas Rp20.000 per kilogram.

Harga Kakao Olahan tetap Stabil

Harga kakao olahan diperkirakan stabil sampai akhir tahun ini berkisar US$ 4.500
per ton sampai US$ 5.000 per ton, menurut asosiasi industri. Perkiraan tersebut
berpatokan pada kondisi harga bahan baku berupa biji kakao yang diperkirakan
juga stabil.

Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Pieter Jasman
mengatakan, komponen yang paling mempengaruhi harga kakao olahan adalah
bahan baku yang komposisinya mencapai 80%.

"Sisanya untuk energi, kemasan, distribusi dan lainnya. Jika harga bahan bakar
minyak (BBM) subsidi naik, itu tidak akan mempengaruhi harga kakao olahan,"
kata Pieter.

Pieter menerangkan harga bahan baku berfluktuasi mengikuti kondisi pasar dan
pasokan. Data International Cocoa Organization menyebutkan harga biji kakao
olahan tercatat US$ 2.292 per ton di akhir Maret 2012.

Pada kuartal I 2012, harga kakao olahan untuk jenis bubuk dan lainnya mencapai
US$ 4.500 per ton. Harga tersebut turun dibandingkan akhir 2011. Penurunan
harga terjadi seiring masa panen di berbagai negara penghasil kakao dunia.

Tiga negara penghasil kakao dunia antara lain Pantai Gading, Ghana, dan
Indonesia. Pieter memperkirakan harga kakao olahan di kuartal I 2012 tidak akan
jauh berbeda dengan kuartal II 2012.

"Biasanya dari pengalaman kami harga antara kuartal I dan II tidak akan ada
perbedaan," jelasnya.

Direktur Keuangan PT. Prasidha Aneka Sukiantono Budinarta mengatakan, tahun
ini produksi kakao olahan nasional ditargetkan mencapai 550 ribu ton. Kenaikan
produksi dan penjualan seiring pertumbuhan permintaan. PT Prasidha Aneka
Niaga Tbk (PSDN) berencana memulai kembali produksi kakao olahan di 2012
ini setelah beberapa tahun terakhir tidak memproduksi segmen tersebut.

"Kami akan memulai produksi kakao olahan dengan skala produksi yang masih
kecil," ujar Sukiantono Budinarta.

Perseroan memiliki pabrik pengolahan kakao dengan kapasitas produksi 20
ribu ton per tahun. Sejak krisis ekonomi tahun 1998, pabrik tersebut tidak lagi
berproduksi. Prasidha akan memproduksi kakao olahan dengan volume produksi
sebesar 1.000 ton di 2012.

Kecilnya volume produksi kakao olahan perseroan karena proses produksi
setelah lama tidak berproduksi membutuhkan biaya yang besar. Perseroan

akan meningkatkan volume produksi kakao olahan secara bertahap. Prasidha
menargetkan penjualan tahun ini mencapai Rp 1,47 triliun, meningkat 38,67%
dari proyeksi penjualan 2011 sebesar Rp 1,06 triliun. Peningkatan target
ini dipengaruhi oleh kenaikan volume penjualan. Perseroan menargetkan
pertumbuhan volume penjualan di 2012 sebesar 37,9% menjadi 37.568 ton dari
target tahun lalu sebesar 27.240 ton.

Nilai Ekspor

Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) memperkirakan, ekspor kakao olahan pada
2012 bisa mencapai 350.000 ton. Jumlah itu mengalami kenaikan dibandingkan
tahun lalu yang hanya 250.000 ton.

Ketua Askindo Zulhelfi Sikumbang mengatakan, peningkatan ekspor terjadi
karena adanya over supply kakao. Menurutnya, krisis ekonomi Eropa dan
Amerika Serikat (AS), tidak akan berdampak langsung terhadap kinerja ekspor
kakao olahan asal Indonesia.

“Kakao Indonesia tidak pernah ditolak oleh negara lain. Meski harga akan
menjadi turun atau naik karena terjadi krisis, tapi pasar di sana akan tetap ada,”
kata Zulhelfi.

Harga kakao olahan pada tahun ini akan mencapai sekitar USD2.000-USD2.800
per ton. Zulhelfi mengatakan, harga itu hampir sama dengan 2011. “Semenjak
krisis Eropa dan over produksi dari Afrika Barat harga kakao sudah turun 40
persen,” ucapnya.

Sekadar informasi, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, ekspor
kakao olahan Indonesia meningkat dari USD142 juta pada Januari – Mei 2010
menjadi USD216,4 juta pada 2011. Adapun ekspor cokelat untuk periode yang
sama naik dari USD12,2 juta dari tahun lalu menjadi USD16 juta pada 2011.

Di sisi lain, ekspor biji kako turun dari USD448,3 juta pada tiga bulan pertama
tahun lalu menjadi USD289,4 juta pada 2011.

Terkait produksi pada tahun ini, dia menjelaskan, akan mencapai 500.000 ton,
atau naik dibandingkan 2011 yang sebesar 420.000 ton. Peningkatan produksi,
kata dia, didorong oleh iklim cuaca yang baik. Sedangkan pada 2011, produksi
merosot tajam akibat anomali cuaca yang buruk.

“Pada 2010 yang lalu produksi kakao Indonesia sempat mencapai angka 575.000
ton, sayangnya pada 2011 mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 420.000
ton karena musim kemarau bertemu dengan musim hujan,” ungkapnya.

Harga Kakao Melemah

Pada penutupan perdagangan di bursa ICE Futures dini hari tadi harga kakao
berjangka tampak mengalami penurunan yang cukup signifikan . Harga komoditas
ini anjlok setelah sebelumnya sempat mengalami rally selama lima sesi berturut-
turut. Penurunan terjadi di tengah kekhawatiran bahwa krisis Eropa akan
mengakibatkan kerentanan baru pada ekonomi global.

Kondisi keuangan kawasan euro belum sepenuhnya pulih. Bahkan saat ini
dikhawatirkan Spanyol akan menyusul Yunani dan terpaksa meminta bantuan
pendanaan dari pihak luar. Kondisi ini bakal menyebabkan penurunan permintaan
sehingga harga sebagian besar komoditas terpukul, termasuk juga di bursa saham.

Harga kakao berjangka untuk kontrak Juli saat ini merupakan kontrak paling aktif
diperdagangkan. Harga komoditas ini di bursa ICE Futures tampak mengalami
penurunan sebesar 4 dolar (1.05%) dan berakhir pada posisi 2257 dolar per
ton. Sedangkan harga komoditas di bursa NYSE tampak mengalami penurunan
sebesar 7 poundsterling (0.47%) di posisi 1479 poundsterling per ton.

Analis Vibiz Research dari Vibiz Consulting memperkirakan bahwa pergerakan
harga komoditas masih akan cenderung berada dalam trend yang sideways,
dengan trend minor yang menguat. Saat ini harga kakao berjangka diperkirakan
masih akan berada pada kisaran 2000 - 2300 dolar per ton.

Impor Kakao

Indonesia menduduki peringkat tiga produsen kakao dunia setelah Pantai Gading
dan Ghana. Namun faktanya industri pengolahan masih impor bubuk kakao rata-
rata 22.000 ton per tahun yang merupakan 15% dari total kebutuhan di dalam
negeri.

impor bubuk kakao yang dilakukan semata-mata untuk meningkatkan kualitas
produk dari bahan baku impor pilihan. Mengingat Produsen tidak bisa
mengandalkan kakao Indonesia yang sebagian besar hasil produksinya tidak
difermentasi.

Dinie Suryani dan Zulfebriansyah dalam Economic Review menyebutkan bahwa
pengelolaan produk kakao masih bersifat tradisional. Dimana 85% biji kakao
yang diproduksi secara nasional tidak difermentasi. Artinya, komoditas tersebut
memiliki kualitas biji yang sangat rendah.

Ekspor komoditas kakao yang berkualitas rendah itu telah menjatuhkan harga
komoditas. Dinie Suryani dan Zulfebriansyah menyebut buyer menuntut
diskon sebesar USD. 200/ton atau 10%-15% dari harga pasar. Bila merujuk pada
perkembangan terakhir yang disampaikan Wakil Menteri Perdagangan Bayu
Krisnamurthi perihal diskon harga, maka besaran diskon sebesar USD. 500 per
ton di pasar new york yang sebelumnya hanya USD. 100 per ton adalah angka
yang cukup memberatkan eksportir.

Di satu sisi ekspor dibawah harga wajar karena tuntutan diskon, di sisi lain ada
kesempatan yang hilang untuk mendapatkan nilai tambah karena tidak dilakukan
proses pengolahan lebih lanjut. Artinya problem kualitas bahan baku untuk ekspor
dan belum tergarapnya proses pengolahan lebih lanjut.

Padahal kesempatan untuk mengolah biji kakao bisa menghasilkan variasi
produk olahan seperti untuk produk antara yang meliputi cocoa powder, cocoa
butter, dan cocoa liquor dan untuk produk akhir berupa coklat. Bila semakin
meningkat kapasitas produksinya dengan semakin banyak variasi produk antara
dan produk akhir yang diciptakannya akan semakin menyumbang devisa bagi
negara dibanding perolehan devisa dari ekspor biji kakao.

Sedangkan untuk kepentingan ekonomi, ada sumbangan pertumbuhan yang
berkualitas dan serapan tenaga kerja yang lebih besar dibanding hanya
mengandalkan ekspor komoditas kakao dalam kondisi “gelondongan”.

Predikat nomor tiga produsen biji kakao dunia yang disandang Indonesia masih
bisa ditingkatkan untuk menjadi yang pertama. Indonesia setidaknya memiliki
keunggulan dalam pengadaan bahan baku kakao kalau bisa mencetak perkebunan
baru. Karena potensi alam yang luas sangat mendukung pencapaian Indonesia
menjadi nomor satu dalam produksi kakao.

Tentu saja investasi untuk menambah kapasitas lahan dari luas perkebunan
kakao sekitar 1,5 juta ha, semakin menarik investor meningkatkan tanaman kakao
yang menunjang peningkatan volume produksi. Sebab luas lahan perkebunan
kakao itu hanya menghasilkan produksi kakao kurang lebih sebesar 500.000 ton.

Sedangkan untuk menandingi Pantai Gading yang menghasilkan 1,3 juta ton dan
sekaligus melampaui Ghana dengan produksinya 750.000 ton per tahun, Indonesia
butuh investasi untuk ekstensifikasi dan intensifikasi perkebunan kakao.

Belajar dari pengalaman Indonesia mengekspor biji kakao yang rendah kualitas,
maka saatnya perlu menanggulangi problem rendahnya nilai jual kakao dengan
melakukan perbaikan kualitas bahan baku dan produk kakao sehingga ekspor
komoditas tersebut tidak terdiskon lagi.

Bahkan saatnya pemerintah untuk memperbaiki kualitas biji kakao menjadi yang
terbaik sambil meningkatkan produksi menyusul pemberlakukan pungutan ekspor
per awal April 2010 yang lalu. Dengan demikian naiknya kualitas biji kakao dan
produk olahannya itu akan menghilangkan tuntutan diskon dari buyer. Sekaligus
bisa mengangkat bargaining position tanpa gentar menghadapi pedagang asing
yang semakin dominan.

Juka demikian pemerintah perlu memberikan pengertian pada para eksportir
bahwa pungutan BK merupakan bentuk kompensasi atas perbaikan kualitas
kakao. Paling tidak buyer tidak punya alasan lagi untuk menuntut diskon setelah
ada perbaikan kualitas. Bahkan posisi tawar eksportir kita jadi lebih tinggi lagi.
Dengan demikian pungutan ekspor yang dibebankan kepada eksportir kakao bisa
dikembalikan lagi untuk kepentingan eksportir sehingga tidak perlu eksportir
membebankan BK kepada petani kakao.

Disamping itu, industri pengolahan kakao yang selama ini mengimpor bubuk
kakao bisa melirik kakao olahan dalam negeri sehingga 100% bahan baku
terpenuhi dari kandungan lokal. Dengan demikian kualitas biji kakao harus

disempurnakan dengan proses pengolahan lebih dahulu menjadi produk antara
seperti bubuk kakao tadi.

Kementerian Perindustrian perlu mendorong industri pengolahan kakao Indonesia
agar mengoptimalkan seluruh industri pengolahan kakao untuk memanfaatkan
besarnya bahan baku sekaligus menopang revitalisasi industri ini agar bangkit
mengoptimalkan kapasitas terpasangnya. Termasuk menghidupkan kembali
industri yang gulung tikar akibat tersandung pajak ekspor kakao olahan.

Mengundang investor asing untuk mendirikan pabrik pengolahan kakao di
Indonesia memang menjadi harapan. Pemerintah pun perlu membenahi regulasi
yang bisa memancing pabrik pengolahan biji kakao di negara lain untuk
merelokasi industrinya ke Indonesia. Yang penting mereka butuh insentif pajak
dan pembebasan bea keluar produk hilir kakao.

Sama pentingnya mengundang investor untuk terlibat dalam perluasan
tanaman kakao yang bermitra dengan petani kakao dalam skema inti plasma
untuk menghasilkan peningkatan produktivitas kakao. Karena mana mungkin
ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan bisa terjaga kontinuitasnya
tanpa ditopang oleh kekuatan pada industri hulu.

Kelihatannya cukup ideal dari produktivitas berikut kualitas kakao yang semakin
meningkat seimbang dengan pertumbuhan industri pengolahan kakao. Lebih baik
lagi bila eksportir kakao yang tergabung dalam Askindo juga diberikan ruang
untuk bisa mengekspor biji kakao selama ada peningkatan produksi biji kakao
yang melebihi kebutuhan industri pengolahan.

Namun untuk memetik pelajaran dari perkembangan harga kakao dunia ada
baiknya merenungkan fluktuasi harga bagi para pemangku kepentingan.

Seperti ketika terjadi surplus produksi yang waktu itu langsung berpengaruh pada
penurunan harga kakao. Hal itu dialami selama 30 tahun lamanya hingga tahun
2000. Namun defisit produksi pada tahun 2000 telah mendongkrak kenaikan
harga. Lalu disusul surplus produksi pada tahun 2003/2004 yang membuat harga
kakao pun melemah. Namun gairah pengolahan industri kakao dunia mengangkat
harga kembali setelah dipicu oleh peningkatan kapasitas pengolahan biji kakao.

Berarti volume produksi biji kakao dan pengolahan kakao paling dekat dengan
variabel harga komoditas tersebut. Namun ketergantungan volume produksi bahan
baku dan pengolahannya juga tidak bebas dari peran konsumen.

Kualitas Membaik

Kualitas kakao di Provinsi Lampung pada pertengahan April ini mulai membaik
sehingga harganya pun cenderung bertahan tinggi. Mrnurut salah Dodi salah seorang
agen kualitasnya berangsur membaik, tidak seperti beberapa bulan lalu.

Menurut Dodi, biji kakao kini bisa dijemur agak lama untuk menurunkan kadar air
sehubungan berkurangnya curah hujan di wilayah perkebunan Lampung.

Ia menyebutkan kakao bermutu baik yang banyak dipesan eksportir. Untuk
mencapai kualitas seperti itu, salah satu caranya dengan mengeringkan biji kakao
hingga mencapai kadar air terendah. Kakao berkualitas baik kadar airnya harus di

bawah 20%. Makin kering makin baik.

Harga kakao sekarang berkisar Rp15 ribu—Rp16.500/kg, meskipun masih di
bawah harga normalnya Rp18 ribu-Rp20 ribu/kg. Harga ditentukan dari kualitas
barang, jadi dari pihak agen yang menentukan.

Sarjan seorang petani kakao menyebutkan harga kakao saat ini lebih baik bila
dibandingkan dengan bulan lalu, sehingga banyak yang menjual hasil kebunnya
dengan jumlah banyak.

"Setengah dari hasil kebun saya jual karena saat ini harganya sedang bagus,
sisanya belum bisa dipastikan akan dijual kapan, kemungkinan menunggu hingga
kadar airnya berkurang," ungkapnya,

Rabu, 18 April 2012

Mentan: perkebunan bantu perbesar pendapatan negara

Palangka Raya (ANTARA News) - Usaha perkebunan yang prospektif di Indonesia terbukti sangat membantu memperbesar dan meningkatkan Pendapatan Negara seperti pada 2010 devisa ekspor perkebunan tercatat melebihi 20 miliar dolar Amerika Serikat (AS).

Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah (Kalteng) Erman P Ranan di Palangka Raya, Minggu, mengatakan pernyataan itu disampaikan Menteri Pertanian ketika melakukan kunjungan kerja di Kalteng Sabtu.

Menteri Pertanian Suswono mengatakan, perkebunan merupakan penghasil devisa, penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja, sumber bahan buku industri, pengembangan ekonomi wilayah, dan berperan dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

"Dilihat kontribusi perkebunan terhadap penerimaan devisa ekspor perkebunan pada 2010 melebihi 20 miliar dolar AS, terutama produk-produk kelapa sawit sekitar 15,4 miliar dolar AS," kata Suswono.

Kemudian ditambah lagi dari produksi Karet sebesar 7,4 miliar dolar AS, kakau 1,6 miliar dolar AS, kopi 0,8 miliar dolar AS, dan kelapa 0,7 miliar dolar AS.

Selain itu, depisa ekspor penerimaan negara dari cukai rokok sekitar Rp63 triliun, bea keluar minyak kelapa sawit Rp20 triliun dan bea keluar ekspor biji kakau Januari 2010-Februari 2011 mencapai Rp1,615 miliar.

Dari aspek tenaga kerja, pembangunan perkebunan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 19,7 juta orang di sektor onpak, penyerapan tenaga kerja akan besar untuk sektor opam/industri hilir perkebunan baik pengolahan maupun jasa pendukung.

"Hampir semua produk perkebunan harus diolah sebelum sampai ke konsumen seperti industri ban dan industri karet lainnya, minyak goreng, coklat, kopi, teh, dan gula. Ini bukti melimpahnya produk perkebunan yang harus diolah," tegasnya.

Menteri mengatakan, pengembangan industri berbasis perkebunan tentunya memberi nilai tambah bagi komoditi dalam negeri. Diharapkan produk-produk ini dapat dijual dalam finish produk sehingga memiliki nilai tambah yang jauh lebih besar.

Pengembangan perkebunan pada umumnya dilakukan di wilayah pengembangan baru, bahkan pembangunan perkebunan dapat menjadi pembangunan ekonomi wilayah, khusunnya di daerah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Tanaman perkebunan mayoritas dalam bentuk pohon dan ini memiliki nilai ekonomis, di samping potensi hidrokornogis sebagai penahan erosi, konservasi lahan dan air, serta fungsi eidrologis sebagai pegetasi CO2 dan produsen O2.

"Komoditi perkebunan juga berfotensi mengurangi emisi CO2, apabila komoditi perkebunan bisa dikembangkan untuk merehabilitasai semak belukar, jangan biarkan lahan tersebut ditumbuhi semak belukar dan alang-alang saja," ungkapnya.

Simpanan CO2 pada lahan perkebunan dinilai lebih tinggi jika dibandingkan dengan lahan-lahan terlantar, meski perkembangan perkebunan sampai saat ini tidak serta-merta seperti yang diinginkan, katanya.
(ANT-320/S019)

sumber: www.antaranews.com

Waspadi Dampak Krisis Ekonomi Eropa

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir tahun 2011 ini masih tetap tumbuh cukup tinggi, sebesar 6,5 persen, padahal sejak September lalu dampak krisis ekonomi di Eropa mulai merasuki sejumlah sektor ekonomi terutama di bidang keuangan.

Dampak krisis ekonomi di Eropa terlihat dengan banyaknya dana-dana investor asing pada portofolio keuangan yang keluar dari pasar saham, pasar uang dan pasar obligasi, sehingga mengakibatkan anjloknya indeks saham (IHSG), melemahnya nilai tukar rupiah dan meningkatnya yield Surat Berharga Negara (SBN) Pemerintah.

Pada bulan September lalu aliran dana asing yang keluar (capital outflows) tercatat pali besar, dana asing di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berkurang sebanyak 1,587 miliar dolar AS, di SBN berkurang 3,3 miliar dolar AS dan di saham 698 juta dolar AS.

Total dana asing yang keluar pada September 5,59 miliar dolar AS, sementara pada Oktober jumlahnya berkurang menjadi 640 juta dolar AS dan pada Nopember dana asing yang keluar 1,46 miliar dolar AS.

Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menilai krisis ekonomi di Eropa belum sampai pada batas bawahnya, dan belum semua potensi buruk dari krisis tersebut terbuka ke masyarakat karena ada keengganan dari bank-bank di Eropa tersebut untuk menilai potensi kerugiannya akibat krisis.

Sementara di sektor perdagangan, volume permintaan ekspor dari negara-negara Eropa dan juga Amerika Serikat ke Indonesia akan menurun. Begitu pula permintaan dari negara-negara lain yang terkena dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia ini.

Data Bank Indonesia menyebutkan ekspor Indonesia sampai semester I 2011 ke negara-negara Uni Eropa mencapai 1,77 miliar dolar AS, atau sekitar 10,4 persen dari total nilai ekspor Indonesia sebesar 14,22 miliar dolar AS. Sedangkan ekspor ke Amerika Serikat mencapai 1,36 miliar dolar AS atau 8,2 persen dari total ekspor Indonesia.

Sementara itu Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo melihat dampaknya ke Indonesia akan terasa di sektor keuangan dengan akan semakin tingginya volatilitas arus modal asing yang masuk dan keluar serta dari sektor perdagangan karena akan turunnya ekspor akibat permintaan dunia yang melemah.

Sejumlah ekonom seperti seperti Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan melihat dampak dari krisis ekonomi Eropa di sektor perdagangan tidak akan terlalu besar, karena ekspor Indonesia tidak lagi bergantung ke negara-negara maju, karena sudah adanya pengalihan ke negara-negara `emerging` dan negara-negara lain yang memiliki volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi seperti China, India dan Jepang serta negara-negara ASEAN.

Ekspor ke China pada semester I 2011 mencapai 2 miliar dolar AS atau 16,1 persen dari total ekspor Indonesia, ke India sebesar 1,1 miliar dolar AS atau 5,7 persen dan ke Jepang 1,79 miliar dolar AS atau 13,4 persen total ekspor Indonesia.

Selain itu, ekspor Indonesia juga lebih terkonsentrasi pada komoditas primer seperti batu bara, minyak sawit, karet, timah dan nikel dibanding produk-produk industri seperti tekstil, bahan kimia, mesin, alas kaki dan barang karet.

Karakteristik ekspor yang lebih besar pada komoditas primer ini, menurut Anto cenderung lebih elastis terhadap gejolak permintaan karena merupakan barang-barang kebutuhan pokok yang tetap besar permintaannya.

"Pertumbuhan ekonomi di China dan India itu kan masih tetap butuh listrik, sehingga ekspor batu bara masih akan tetap tinggi," katanya

Selain itu Dampak krisis ekonomi eropa berdampak pada perdagangan terutama pada perdagngan karet berjangka. Di bursa TOCOM Tokyo, harga karet berjangka untuk penyerahan Mei 2012 turun 1,9 persen, dan ditutup pada level harga 272,2 yen per kilogram. Penurunan harga karet dipengaruhi krisis utang Eropa, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa permintaan bisa turun.

Thailand, Indonesia, dan Malaysia, yang menguasai pangsa pasar karet alami dunia hingga 70 persen, berencana untuk mendirikan pasar fisik regional, guna menciptakan harga patokan baru atas komoditas tersebut.

Pasar itu akan membantu perdagangan produsen dengan harga yang lebih transparan dan dapat diandalkan. Pasar tersebut akan melibatkan Bursa Komoditas & Derivatif Indonesia (BKDI), Bursa Berjangka Pertanian Thailand (AFET), dan Bursa Derivatif Malaysia (MDEX).

Menurut laporan perkembangan harga Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, harga karet ekspor kualitas 90 persen di Sumatera Selatan berada pada level harga Rp 27.929 per kilogram, turun dibandingkan sebelumnya kisaran Rp 28.374 per kg.

Harga karet Sumsel selama ini berpatokan dengan pasaran di luar negeri, karena sebagian besar komoditas perkebunan tersebut diekspor ke sejumlah negara konsumen.

Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel, nilai ekspor provinsi tersebut selama September 2011 menghasilkan devisa sebesar 367,22 juta dolar AS, atau turun dibandingkan bulan sebelumnya mencapai 400,61 juta dolar.

Karet Sumsel, berdasarkan data Dinas Perkebunan setempat dipasok dari sejumlah daerah penghasil seperti Kabupaten Muaraenim, Lahat, Musirawas, Musibanyuasin, Banyuasin, Ogan Komering Ilir, dan Ogan Komering Ulu Timur, termasuk sebagian dari wilayah Kota Prabumulih, dengan total luas mencapai hampir satu juta hektar.

Kerugian Akibat Bibit Palsu

Hampir disetiap daerah terutama Sumatera, Kalimantan dll, kelapa sawit merupakan sumber penghasilan utama, baik yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar maupun di kebun sendiri dari yang puluhan hektar sampai beberapa rante (1 rante = 400 m2). Memang memang masih banyak petani yang belum menggunakan benih sawit unggul dari sumber yang terpercaya. Alasannya tentu masalah kesulitan akses dan harga yang tidak terjangkau, sampai-sampai ada istilah bibit “mariles (Marihat Leles)” yang sebenarnya ungkapan bahwa bibit yang digunakan tidak jelas asalnya. Dari Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit, saya jadi tahu bahwa yang dimaksud benih palsu adalah yang termasuk kategori sebegai berikut:

1. Benih yang jenis persilangannya tidak sesuai dengan prosedur pengadaal benih
2. Diproduksi oleh produsen liar tanpa mengikuti kaidah-kaidah pengadaan benih yang benar
3. Diperoleh dari pohon tenera komersial atau brondolan dura liar (“mariles” tergolong dalam    kategori ini)
4. Menghasilkan tanaman beragam dengan rendemen CPO 16%18%

Bagi anda yang ingin serius menekuni dunia agribisnis kelapa sawit secara professional, jangan sekali-sekali menggunakan benih yang tidak jelas statusnya karena kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Selama ini saya percaya kalau bibit “mariles” merugikan hanya dari sisi produksi yang lebih rendah dibandingkan bibit yang unggul. Tapi baru-baru ini saya membaca tulisan Bp. Luqman Erningpraja dalam Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit vol. 10(1) terbitan lawas (2002) yang berjudul “Benih Palsu Kelapa Sawit yang Menyengsarakan Petani”, ternyata kerugian yang ditimbulkan dapat menyangkut banyak aspek.

Aspek Teknis
Kerugian yang termasuk dalam aspek teknis ini adalah produktivitas tanaman dan kesulitan dalam pengolahan di pabrik. Benih palsu jika ditanam di lapangan cendering menghasilkan tegakan yang beragam yang terdiri dari 25% psifera yang tidak produktif (buah jantan/cengkeh), 25% dura dengan produktivitas rendah dan kualitas CPO yang tidah standard, dan 50% tenera yang sangat beragam. Diperhitungkan produktivitas total dari benih palsu hanya sekitar 50% dari benih yang asli, dapat dibayangkan kerugian yang timbul bila arealnya ribuan hektar.

Di samping itu, benih palsu akan menghasilkan tanaman dura yang memiliki cangkang sangat tebal dan keras sehingga sangat riskan merusak mesin pemecah biji. Selain itu terjadi penurunan rendemen inti yang disebabkan biji dura tidak terproses oleh mesin.

Aspek Sosial
Masalah sosial yang pertama timbul tentu saja adalah keluhan karena tidak puas terhadap produktivitas tanaman dari benih palsu walaupun tanaman menunjukkan pertumbuhan yang jagur. Lebih jauh penurunan produktivitas tentu saja menurunkan pendapatan petani sehingga sulit memenuhi kebutuhan hidup dan bisa jadi tidak mampu mengembalikan pinjaman ke bank. Karena tuntutan hidup tidak jarang pencurian TBS terjadi karena hasil dari kebun sendiri tidak memadai. Jika sudah terjadi kasus penjarahan TBS tentu sangat meresahkan masyarakat.
Peredaran benih illegal tidak hanya merugikan pengguna tapi juga produsen benih kelapa sawit unggul karena menurunkan pangsa pasar dan kerugian image karena tidak jarang pelaku benih palsu mengatasnamakan produsen benih unggul yang ternama.

Aspek Finansial
Semua kerugian tentu bermuara pada asfek finansial karena perkebunan kelapa sawit merupakan bisnis yang seharusnya menguntungkan. Hasil perhitungan dengan beberapa kategori menunjukkan bahwa penggunaan bibit yang palsu memang lebih murah dalam biaya pembibitan dan Investasi kebun tapi lebih mahal dalam biaya produksi sehingga dalam perhitungan rugi/laba penggunaan benih palsu jauh di bawah benih asli. Dengan menggunakan benih asli payback period diperhitungkan hanya 7 tahun, bandingkan dengan penggunaan benih palsu yang sampai 14 tahun.

Selasa, 17 April 2012

Perkebunan Sumber Penerimaan Devisa Negara

Perkebunan selama ini memegang peranan yang penting sebagai sumber penerimaan devisa negara. Tahun 2010 devisa dari perkebunan mencapai USD20 miliar yang berasal dari kelapa sawit USD15,5 miliar, karet USD7,8 miliar dan kopi USD1,7 miliar. Penerimaan negara dari cukai rokok Rp63 triliun, bea keluar minyak kelapa sawit Rp20 triliun dan bea keluar kakao Rp615 miliar.

Menteri Pertanian Suswono mengharapkan supaya Indonesia tidak lagi jadi eksportir barang mentah atau setengah jadi tetapi finish product sehingga nilai tambah ada didalam negeri.

devisa negara Perkebunan selama ini memegang peranan yang penting sebagai sumber penerimaan devisa negara. Tahun 2010 devisa dari perkebunan mencapai USD20 miliar yang berasal dari kelapa sawit USD15,5 miliar, karet USD7,8 miliar dan kopi USD1,7 miliar. Penerimaan negara dari cukai rokok Rp63 triliun, bea keluar minyak kelapa sawit Rp20 triliun dan bea keluar kakao Rp615 miliar.

Menteri Pertanian Suswono mengharapkan supaya Indonesia tidak lagi jadi eksportir barang mentah atau setengah jadi tetapi finish product sehingga nilai tambah ada didalam negeri.

Peranan penting perkebunan yang lain adalah penyerap tenaga kerja. Di tingkat on farm saja tenaga kerja yang diserap mencapai 19,7 jutaorang. Peranan perkebunan tetap penting bahkan semakin penting untuk mengurangi kemiskinan, menyerap tenaga kerja, menjaga kelestarian lingkungan hidup dan sumber energi.

Meskipun demikian tidak berarti tidak ada masalah di perkebunan. Banyak kritik yang menyatakan kelapa sawit tidak memberi kontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca. Padahal kelapa sawit sebagai tanaman juga punya fungsi sebagai produsen 02. Terbukti bahwa simpanan CO2 di kebun kelapa sawit jauh lebih besar ketimbang semak belukar dan alang-alang, berarti kelapa sawit memberikan kontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca.

Karena itu menurut Suswono, lahan terlantar jangan dibiarkan karena matahari bersinar tiap hari harus dimanfaatkan. Ada lagi black campaign bahwa kelapa sawit merusak lingkungan. Semua isu itu adalah cara-cara negara pesaing agar kelapa sawit tidak diterima pasar. Buktikan bahwa ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) bisa menjawab tuduhan itu tidak benar.

Suswono menyatakan terimakasih pada Pemda Kalimantan Tengah yang sudah mengeluarkan perda sebagai tindak lanjut Permentan no 26tahun 2007 pasal 11 yang mewajibkan semua perusahaan perkebunan menjalin kemitraan dengan masyarakat minimal 20% dari lahan yang ditanami.

Permentan ini keluar karena pemerintah sadar bahwa perkebunan merupakan bisnis yang padat modal sehingga tidak mungkin rakyat bisa menangani dalam skala yang luas. Karena itu rakyat bisa diikutsertakan bila perusahaan perkebunan mengalokasikan 20% lahanya untuk kemitraan.

“Saya sudah minta pada Dirjenbun segera melakukan audit bagi seluruh pelaku usaha perkebunan siapa yang belum menjalankan kewajiban ini. Presiden SBY berpesan supaya negara harus dibangun dengan pemerataan dan berkeadilan. Dampak sosialnya luar biasa contohnya di Kalteng di daerah-daerah yang perkebunanya belum membangun plasma banyak masalah” katanya.

Konflik sosial membuat cost lebih mahal. Membangun kemitraan merupakan bagian dari pengamanan sosial. Tidak ada konflik membuat pelaku usaha dapat bekerja dengan baik. Mentan juga mengapresiasi pengusaha yang sudah membangun kemitraan.

“Saya bertanya pada Dirjen Perkebunan apakah ada batas waktu kapan plasma ini harus di dibangun. Ternyata dalam Permentan tidak disebutkan secara definitive kapan kebun plasma ini harus bangun. Karena itu tahun 2012 ini Permentan akan direvisi dan dengan jelas menyebutkan jangka waktu kapan kebun plasma harus dibangun” kata Suswono.

Ke depan yang dikembangkan ditingkat on farm adalah peningkat produktivitas. Ini harus jadi sasaran utama dengan penanaman klon baru. Malaysia dengan luas lahan hanya separuh dari Indonesia ternyata produksi CPO hampir sama. Dengan mendekati produktivitas Malaysia maka produksi CPO Indonesia bisa mencapai dua kali lipat.

Perkebunan juga diminta melakukan diversifikasi usaha dengan tumpang sari tanaman pangan dan ternak. Daun sawit, bungkil dan lumpur sawit bisa menjadi pakan sapi. Karena itu pemerintah mengenakan bea keluar bungkil sawit supaya tidak diekspor tetapi dimanfaatkan untuk pakan ternak. Kedepan integrasi sapi sawit harus jadi kewajiban.

Lahan Gambut Untuk Tanaman Tebu

Luas lahan rawa di Indonesia tercatat sekitar 33,3 juta ha yang tersebar di pulau Kalimantan, Sumatra, Papua, dan Sulawesi. Dari luasan tersebut terdapat lahan gambut atau bergambut seluas 21 juta ha dan yang mempunyai lapisan pirit dilaporkan sekitar 1,5 juta ha, selain itu terdapat sekitar 9 juta ha lahan rawa di Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian.

Dengan demikian, jika lahan tersebut dapat dikelola dengan baik dengan input teknologi yang memadai akan diperoleh sumbangan produksi pertanian yang sangat besar. Namun kendala utama yang akan dihadapi dalam pengembangan lahan rawa adalah infrastruktur pengelolaan air (saluran dan pintu-pintu air) yang tidak memadai, infrastruktur jalan yang terbatas, sumberdaya petani (jumlah dan keterampilan) yang rendah, dan kondisi kesuburan tanah yang relative rendah.

tebuLuas lahan rawa di Indonesia tercatat sekitar 33,3 juta ha yang tersebar di pulau Kalimantan, Sumatra, Papua, dan Sulawesi. Dari luasan tersebut terdapat lahan gambut atau bergambut seluas 21 juta ha dan yang mempunyai lapisan pirit dilaporkan sekitar 1,5 juta ha, selain itu terdapat sekitar 9 juta ha lahan rawa di Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian.

Dengan demikian, jika lahan tersebut dapat dikelola dengan baik dengan input teknologi yang memadai akan diperoleh sumbangan produksi pertanian yang sangat besar. Namun kendala utama yang akan dihadapi dalam pengembangan lahan rawa adalah infrastruktur pengelolaan air (saluran dan pintu-pintu air) yang tidak memadai, infrastruktur jalan yang terbatas, sumberdaya petani (jumlah dan keterampilan) yang rendah, dan kondisi kesuburan tanah yang relative rendah.

Potensi lahan gambut tidak hanya untuk usaha tanaman semusim, namun juga untuk tanaman perkebunanan seperti sawit, karet, dan tebu. Pengembangan lahan perkebunan seperti sawit dan karet makin intensif dilakukan akhir-akhir ini yang apabila dilakukan dengan tidak hati-hati akan menimbulkan dampak lingkungan yang tidak kecil. Sedangkan penggunaan lahan gambut untuk pengembangan tanaman tebu di Indonesia belum banyak dilakukan, seperti yang sudah dilakukan di Australia.

Petani di negara bagian New South Wales Australia telah memanfaatkan lahan gambut untuk usaha tanaman tebu sejak 50 tahunan yang lalu. Australia memiliki lahan gambut yang berpirit (sulfat masam potensial) seluas 40.000 km2. Lahan ini memiliki lapisan pirit dibawah perrmukaan yang apabila terekspose ke udara/oksigen melalui penggalian atau penurunan muka air tanah akan menyebabkan pemasaman tanah yang sangat ekstrim (pH <3).

Dengan teknologi yang dimiliki, Australia telah berhasil mengembangkan lahan sulfat masam dengan tingkat produktivitas yang tinggi dan menekan serendah mungkin tingkat kerusakan lingkungan. Pengalaman pengembangan lahan gambut di Australia akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kehati-hatian dalam memanfaatkan lahan gambut di indonesia untuk pertanian sehingga kerusakan yang pernah terjadi selama kegiatan PLG tidak terulang lagi.

Lahan Gambut Untuk Tebu

Perkebunan tebu di negara bagian New South Wales (NSW) itu menempati areal seluas 38.000 ha, seluas 31.000 ha diantaranya ditanam di lahan gambut. Lahan tebu umumnya telah diusahakan cukup lama 30-80 tahun dengan tingkat produktivitas yang terus membaik dan input pupuk yang rendah, tebu yang ditanaman di lahan gambut tebal tidak pernah dipupuk sejak 50 tahun terakhir dan hasilnya tetap baik dan menghasilkan 90 ton/ha.

Petani di Negara itu rata-rata pemilikan lahan tebu sekitar 300 ha per petani dengan produktivitas sekitar 90-120 ton/ha dan rendemen sekitar 10-12%. Saat ini terdapat tiga pabrik yang mengolah tebu petani menjadi “raw sugar” dengan kapasitas produksi 550 ribu ton perpabrik. Selain itu terdapat satu pabrik untuk mengolah “raw sugar” menjadi gula siap konsumsi dengan produksi gula sekitar 2 juta ton per tahun. Tingkat konsumsi gula di negara bagian NSW sekitar 500 ribu ton, dengan demikian sekitar 1,5 juta ton diekspor.

Penggunaan mesin-mesin pertanian (mekanisasi) untuk penyiapan lahan, penanaman, pemupukan dan panen sudah sangat intensif sehingga mengurangi penggunaan tenaga kerja manusia. Untuk mengelola lahan seluas 300 ha hanya diperlukan dua orang tenaga kerja manusia untuk mengoperasikan mesin-mesin pertanian.

Kegiatan panen tebu misalnya hanya menggunakan 2dua orang tenaga manusia satu orang operator mesin panen dan satu orang pengemudi truk. Penggunaan mekanisasi pertanian ini mampu memanen tebu sebanyak 1200 ton/hari atau 10-12 ha/hari tebu. Sebelum mekanisasi digunakan, diperlukan 53 orang tenaga kerja pemotong tebu untuk memanen tebu dengan luasan yang sama. Kelebihan dari penggunaan mekanisasi tidak hanya pada penghematan waktu dan tenaga manusia, tetapi juga daun tebu telah terpisah dari batang tebu dalam bentuk sudah terpotong-potong yang secara otomatis disebar ke lahan.

Pengembalian daun dan akar tebu ke lahan akan mempertahankan kadar bahan organik tanah tetap tinggi sehingga kesuburan tanahnyapun dapat dipertahankan. Dengan teknik tersebut maka seorang petani mengemukakan bahwa tanaman tebunya tidak pernah diberi pupuk kimia sejak 50 tahun terakhir dengan hasil tebu tetap tinggi rata-rata 90 ton ha.

Pengamatan di lahan usahataninya menunjukkan bahwa tingkat kematangan gambutnya sudah sangat matang dan tebal. Proses pematangan gambut yang telah berlangsung selama 90 tahun tersebut meningkatkan ketersediaan hara dan memperbaiki kemasaman tanah. Namun demikian, dampak negatifnya adalah terjadinya penurunan permukaan lahan sedalam 6 meter atau rata-rata 5-7 cm pertahun akibat subsidensi atau pemadatan dan dekomposisi gambut.

Kelangkaan dan mahalnya tenaga kerja manusia di NSW itu memaksa petani untuk menggunakan mekanisasi pertanian. Pengadaan alat dan mesin pertanian (alsintan) dilakukan secara berkelompok dengan anggota 20 orang petani per kelompok. Biaya operasional dan operator serta biaya pemeliharaan ditanggung bersama. Pengadaaan alsintan secara berkelompok sangat membantu petani karena besarnya investasi yang harus ditanamkan untuk pengadaan alsintan. Pengadaan alsintan sepenuhnya atas biaya petani tanpa sedikitpun bantuan dari pemerintah. Seorang petani mengatakan bahwa luas lahan tebu minimal agar feasible adalah 10 ribu ha per petani.

Untuk mencapai kondisi produktivitas seperti saat sekarang ini diperlukan waktu 30 – 50 tahun. Lamanya waktu yang diperlukan untuk mematangkan lahan gambut untuk perkebunan tebu antara lain disebabkan oleh 1). kondisi lahan gambut pada 60 tahun yang lalu belum matang, banyak tunggul dan batang pohon yang besar-besar, 2) gambut masih kurus dan tebal (>3 meter) karena bahan organiknya belum terdekomposisi, 3) jaringan drainasi dibangun oleh petani sendiri tanpa bantuan pemerintah, dan 4) pengalaman mengelola lahan gambut yang benar belum ada.

Lahan Gambut di Indonesia

Indonesia yang memiliki lahan gambut yang sangat luas lebih dari 20 juta ha dan sekitar 9 juta ha diantaranya sangat potensial untuk pengembangan pertanian dengan tingkat kendala biofisik dan sosial yang bervariasi. Sejauh ini, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian masih kurang intensif. Pengembangan tebu di lahan gambut sangat potensial dan dapat mengurangi terjadinya konflik lahan dengan komoditi tanaman pangan. Petani di negara bagian New South Wales Australia telah membuktikan bahwa selama 50 tahun menanam tebu di lahan gambut tidak menimbulkan konflik sosial dan lingkungan yang menonjol dengan tingkat produktivitas tebu yang tinggi 90 – 120 ton ha-1 dan rendemen sekitar 11%.

Petani tebu di Australia menanami lahan tebunya dengan kedelai setelah panen tebu sebanyak 5 kali. Panen tebu dilakukan sekali dalam setahun. Bandingkan dengan produktivitas tebu di Indonesia yang 80 ton ha dengan rendemen 7%. Tebu di Indonesia umumnya ditanam di lahan sawah beririgasi teknis di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung, sehingga menimbulkan terjadinya persaingan lahan dengan tanaman padi dan palawija.

Daerah-daerah gambut di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan tebu adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Merauke, Sumatra Selatan dan Jambi. Potensi lahan gambut untuk pengembangan tebu didaerah tersebut dapat mencapai 1 juta ha. Apabila tingkat produktivitas diperhitungkan sekitar 70 ton/ha dan rendemen sekitar 6%, maka akan diperoleh tambahan gula sebanyak 4,2 juta ton.

Untuk mempercepat proses pematangan dan penyiapan lahan diperlukan adanya kebijakan pengembangan lahan gambut pemerintah untuk komoditi tertentu seperti tebu. Intevensi pemerintah adalah dalam bentuk penetapan sentra-sentra prosuksi tebu dengan luasan yang memadai dengan luas areal 25 ribu ha per sentra prosuksi, adanya insentif harga dan jaminan pemasaran sehingga meransang motivasi petani untuk menanam tebu, pengembangan jaringan tata air yang sesuai dengan karakteristik lahan gambut sehingga meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan, pengembangan alsintan khusus untuk tebu untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja manusia di lahan rawa, pendirian pabrik gula skala sedang di setiap sentra produksi, dan memfasilitasi terjadinya sinergi antara petani melalui kelompok tani dengan peneliti, penyuluh dan swasta.

Karet Komoditi Tradisional

Tanaman karet di Kalimantan Timur merupakan komoditi tradisional yang sudah relatif lama diusahakan sebagai perkebunan rakyat, namun karena pengaruh harga yang berfluktuasi sangat tajam usaha perkaretan beberapa waktu yang lalu sempat ditinggalkan oleh petani perkebunan dan beralih kepada usaha lain yang dianggap lebih menguntungkan.

Namun seiring dengan semakin membaiknya harga karet di pasaran. komoditi karet kembali banyak diusahakan oleh masyarakat di beberapa tempat. Saat ini komoditi karet dianggap sebagai sumber mata pencaharian utama masyarakat di daerah tersebut.

tebu Tanaman karet di Kalimantan Timur merupakan komoditi tradisional yang sudah relatif lama diusahakan sebagai perkebunan rakyat, namun karena pengaruh harga yang berfluktuasi sangat tajam usaha perkaretan beberapa waktu yang lalu sempat ditinggalkan oleh petani perkebunan dan beralih kepada usaha lain yang dianggap lebih menguntungkan.

Namun seiring dengan semakin membaiknya harga karet di pasaran. komoditi karet kembali banyak diusahakan oleh masyarakat di beberapa tempat. Saat ini komoditi karet dianggap sebagai sumber mata pencaharian utama masyarakat di daerah tersebut.

Luas areal pertanaman karet saat ini tercatat seluas 84.367 Ha. Areal tersebut terdiri dari areal perkebunan rakyat 77.076 Ha, perkebunan besar negara sebesar 700 Ha dan perkebunan besar swasta 6.591 Ha dengan produksi seluruhnya berjumlah 57.793 ton lumb.

Produk tersebut pada umumnya dipasarkan ke Banjarmasin untuk kebutuhan pabrik Crumb Rubber. Pusat pertanaman karet terbesar berada di Kabupaten Kutai Barat (Kecamatan Melak dan Barong Tongkok) yang dikembangkan oleh petani pekebun melalui proyek TCSSP bantuan dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB).

Produk tersebut pada umumnya dipasarkan ke Banjarmasin untuk kebutuhan pabrik Crumb Rubber. Pusat pertanaman karet terbesar berada di Kabupaten Kutai Barat (Kecamatan Melak dan Barong Tongkok) yang dikembangkan oleh petani pekebun melalui proyek TCSSP bantuan dari Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB).

Areal penanaman karet lainnya yang cukup luas berada di Kecamatan Palaran dan Samarinda Ilir (Kota Samarinda), Kecamatan Balikpapan Timur dan Balikpapan Utara (Kota Balikpapan), Kecamatan Segah dan Talisayan (Kabupaten Berau), Kecamatan Tanjung Selor (Kabupaten Bulungan), Kecamatan Kota Bangun, Marang Kayu, Samboja dan Muara Badak (Kecamatan Kutai Kartanegara).

Selain itu juga terdapat kebun plasma milik petani pekebun di Kecamatan Long Kali (Kabupaten Paser) dan di Kecamatan Marang Kayu (Kabupaten Kutai Kartanegara) yang kedua - duanya merupakan binaan dari PTPN XIII. Perkebunan Karet milik perkebunan besar swasta terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara milik PT. Majapahit Agroindustri Corp Ltd dan di Kabupaten Kutai Kartanegara milik PT. Hasfarm Product.

Peluang Industri Produk Karet

Hasil utama dari pohon karet adalah lateks yang dapat diperdagangkan oleh masyarakat berupa lateks segar,slab/koagulasi maupun sit asap/ sit angin. Selanjutnya produk tersebut sebagai bahan baku pabrik Crumb Rubber/Karet Remah yang menghasilkan bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, sepatu karet, sarung tangan dan lain - lain.

Pada tahun ini Pemkab Malinau (Kaltim) telah memprogramkan pembuatan kebun entres karet di Kecamatan Malinau Marat, tepatnya di Desa Kuala Lapang. Kebun entres ini sekitar 2 hektare dan akan dikelola langsung Dinas Perkebunan. Demikian disampaikan Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Malinau Lawing Liban.

Mantan Sekretaris Disbun Malinau ini mengatakan, kebun entres ini sebagai upaya menyiapkan bibit unggul untuk masyarakat. Di kebun entres karet ini, Disbun akan melakukan okulasi sebagai upaya pengembangan bibit karet dengan cara menempel mata tunas baru dari bibit unggul. Yakni dari bibit pohon karet yang memiliki banyak getahnya.

Dalam pengelolaan kebun entres karet itu, Disbun akan menempatkan petugas khusus yang melakukan okulasi (penempelan mata tunas karet baru). Petugas itu dari pusat penelitian karet Getas, dari Salatiga, Jawa Tengah. Semua bibit karet katanya, disiapkan untuk kemudian diserahkan kepada sejumlah penangkar.

Harga

Sementara itu harga bahan olah karet pabrik kualitas 90 persen tercatat Rp30.782 per kilogram, turun dibanding pekan sebelumnya Rp31.082 per kg. harga bahan olah karet (bokar) kualitas 90 persen dalam sepekan terakhir belum stabil, karena pengaruh pasaran di luar negeri.

Berdasarkan data di Gapkindo setempat harga bokar kualitas 90 persen pada 2 April Rp31.058, selanjutnya 4 April naik menjadi Rp31.082 per kg dan terakhir hingga saat ini turun menjadi Rp30.782 per kg. Dikemukakannya, berdasarkan data selama sepekan tersebut harga bokar pabrik di tingkat pengusaha industri pengolahan anggota Gapkindo Sumsel, ternyata tidak stabil selalu terjadi perubahan.

Hingga saat ini harga masih tetap berpatokan dengan pasaran di luar negeri, karena sebagian besar hasil karet dari provinsi itu diekspor. Karet Kaltim yang diekspor rata-rata per bulan mencapai sekitar 60 ribu hingga 70 ribu ton. Sementara hasil karet petani selama ini selain dibeli langsung oleh pedagang pengumpul, juga sebagian daerah ada yang menjual melalui lelang koperasi unit desa, setelah itu baru dipasok ke perusahaan anggota Gapkindo.

Secara keseluruhan nilai ekspor Sumsel pada Januari 2012 mengalami peningkatan sebesar 2,07 persen dibanding Desember 2011, yakni dari 308,77 juta dolar Amerika Serikat menjadi 315,16 juta dolar AS. Dari total nilai ekspor tersebut terdiri atas minyak dan gas 45,370 juta dolar AS, dan nonmigas 269,789 juta dolar.

Dikemukakannya, nilai ekspor nonmigas Kaltim pada Januari 2012 masih didominasi komoditi hasil pertanian, terutama karet mencapai 219,52 juta dolar AS, menyusul batu bara 2,83 juta dolar AS dan kayu/produk kayu 1,50 juta dolar AS.

Potensi Pasar Ekspor Karet Indonesia

Konsumsi karet dunia dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan, jika pada tahun 2009 konsumsi karet dunia sebesar 9,277 juta ton, sedangkan pada tahun 2010 naik menjadi 10,664 juta ton. Sementara produksi karet mentah dunia hanya mampu memberikan sebanyak 10,219 juta ton pada tahun 2010 naik dibandingkan dengan tahun 2009 yang sebesar 9,702 juta ton karet alam atau minus sekitar 445.000 ton.
Harga karet di pasar dunia dipengaruhi oleh tingginya permintaan terhadap komoditas itu dari negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat seperti China, India, dan Asia Pasifik.

karetKonsumsi karet dunia dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan, jika pada tahun 2009 konsumsi karet dunia sebesar 9,277 juta ton, sedangkan pada tahun 2010 naik menjadi 10,664 juta ton. Sementara produksi karet mentah dunia hanya mampu memberikan sebanyak 10,219 juta ton pada tahun 2010 naik dibandingkan dengan tahun 2009 yang sebesar 9,702 juta ton karet alam atau minus sekitar 445.000 ton. Harga karet di pasar dunia dipengaruhi oleh tingginya permintaan terhadap komoditas itu dari negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat seperti China, India, dan Asia Pasifik.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik bahwa untuk luas areal karet Indonesia sebagai yang terbesar di dunia dengan luas 3,4 juta hektar, diikuti Thailand seluas 2,6 juta hektar dan Malaysia 1,02 juta hektar. Meski memiliki lahan terluas, produksi karet Indonesia tercatat sebesar 2,4 juta ton atau di bawah produksi Thailand yang mencapai 3,1 juta ton, sedangkan produksi karet Malaysia mencapai 951 ribu ton. Untuk mutu bahan olah karet rakyat (bokar) sangat menentukan daya saing karet alam Indonesia di pasar International.
Dengan mutu bokar yang baik akan terjamin permintaan pasar jangkan panjang. Mutu bokar yang baik dicerminkan oleh Kadar Kering Karet (KKK) dan tingkat kebersihan yang tinggi. Upaya perbaikan mutu bokar harus dimulai sejak penanganan lateks di kebun sampai dengan tahap pengolahan akhir.

Indonesia pada tahun 2010 hanya mampu memberikan kontribusi untuk kebutuhan karet dunia sebanyak 2,41 juta ton karet alam atau urutan kedua setelah Thailand yang sebesar 3,25 juta ton. Menurut data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (GAPKINDO), untuk tahun 2011 produksi karet alam dunia diasumsikan hanya berkisar 10,970 juta ton sementara untuk konsumsi diperkirakan mencapai 11,151 juta ton sehingga terjadi kekurangan pasokan atau minus sekitar 181.000 ton.
Kurangnya produk karet alam dunia di tahun 2011 salah satunya di karenakan terganggunya produksi karet di beberapa negara seperti Australia, hujan deras yang disebabkan oleh lamina yang juga menyebabkan banjir di negara tersebut telah mengganggu proses penyadapan karet. Kemudian di Thailand asosiasi natural rubber producing countries di Thailand memperkirakan produk karet alam pada musim dingin yang berlangsung mulai Febuari-Mei berdampak pada menurunnya produk karet hingga 50 persen.
Menurut data dari BPS, dengan adanya asumsi tersebut, dipastikan Indonesia berpeluang besar untuk memasok karet alam hasil produk Indonesia ke luar negeri/ekspor dan tentunya dengan catatan untuk produk karet Indonesia agar lebih ditingkatkan. Untuk tahun 2010 ekspor karet Indonesia sebesar 1,9 juta ton. Diperkirakan untuk targetnya tahun ini ekspor karet bisa naik hingga 10%.

Pertumbuhan Kelapa Sawit Terganjal

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat ada delapan persoalan yang mengganjal laju usaha mulai dari persoalan bea keluar, tata ruang, sampai black campaign Uni Eropa dan Amerika.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joefly J. Bahroeny mengatakan persoalan bea keluar (BK) minyak kelapa sawit (CPO) selalu jadi pembahasan yang tidak pernah selesai. Pajak yang progresif dinilai tidak adil bagi produsen.

karet G abungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat ada delapan persoalan yang mengganjal laju usaha mulai dari persoalan bea keluar, tata ruang, sampai black campaign Uni Eropa dan Amerika.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joefly J. Bahroeny mengatakan persoalan bea keluar (BK) minyak kelapa sawit (CPO) selalu jadi pembahasan yang tidak pernah selesai. Pajak yang progresif dinilai tidak adil bagi produsen.

Dalam rangka itu, dia mengakui, pemerintah mengeluarkan jalan tengah lewat PMK 28/2011. Pada skema BK yang baru, tarif BK CPO berkisar 7,5% hingga 22,5% pada kisaran harga US$750-US$1.250. Menurut Joefly, secara umum tarif masih sangat progresif.

Selain itu, ada Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-90/PJ/2011 pada November 2011 tentang Pengkreditan Pajak Masukan pada Perusahaan Terpadu Kelapa Sawit. Berdasarkan surat edaran itu, PPN masukan yang dibayar untuk perolehan barang kena pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan. “Dari September 2011 kami sudah meminta untuk revisi PPN, sampai sekarang belum dilaksanakan, katanya.

Selain itu Joefly memaparkan PPN sebesar 10% tersebut telah menjadi beban biaya produksi bagi para pengusaha kelapa sawit. “Kami meminta pajak berganda bisa diselaraskan oleh pemerintah.” Persoalan lain adalah belum selesainya tata ruang nasional. “Pembahasan soal itu telah dilakukan selama 3 tahun dan hingga kini belum selesai. Kondisi itu membuat kami wait and see. Investor luar dan lokal yang mau masuk jadi tertunda. Di sisi lain, investor lokal nggak berani memperluas investasi.”

Joefly menjelaskan dalam soal tata ruang ini ia menilai banyak ketidaksinkronan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Contohnya, kasus tata ruang di Kalimantan Tengah seluar 1 juta hektare yang dituding tumpang tindih dengan kawasan hutan. “Penyelesaiannya berlarut-larut, kami memohon pemerintah menuntaskan persoalan ini.“

Moratorium izin baru

Gapki juga menyoroti soal moratorium izin baru kebun sawit yang hasilnya tidak memuaskan dan mengganggu iklim investasi sawit. Pengusaha juga menyoroti kewajiban kebun plasma sebesar 25% sebagai persoalan. Bahkan, tambahnya, di lapangan pengusaha merasa mendapat tekanan dari pemda dan masyarakat untuk menerapkan kebun plasma itu. Begitu pula soal lahan telantar yang ditafsirkan secara tidak tepat di lapangan menimbulkan ekses. “Banyak anggota Gapki yang mendapat peringatan sampai SP3,“ katanya.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menegaskan Inpres Moratorium hutan alam primer dan lahan gambut tidak akan mengganggu investasi sumber daya alam terutama komoditas kelapa sawit. “Kami tidak menghalangi pengusaha sawit untuk membuka lahan perkebunan sawit, asalkan bukan di hutan alam primer dan lahan gambut itu saja, masih banyak lahan-lahan lain yang belum dipergunakan,” katanya.

Menurut Zulkifli, moratorium tidak berlaku untuk program pertanian seperti padi dan tebu, panas bumi, minyak bumi dan gas, serta kelistrikan. Untuk mendukung target CPO nasional sebesar 40 juta ton pada 2020, kementerian kehutanan mengalokasikan kawasan hutan untuk nonkehutanan seluas 4,06 juta hektare dari hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang luasnya 17,94 juta hektare.

Zulkifli tidak menyangkal banyak permasalahan dari konditas sawit ini. “Memang ada beberapa hal yang diluar kontrol kami. Contohnya kasus di Aceh di mana gubernur mengizinkan membuka lahan sawit di lahan gambut,” ujarnya.

Sementara itu Menteri Pertanian Suswono mengatakan perkembangan industri sawit tetap harus memperhatikan kemakmuran rakyat dengan adanya perkebunan plasma 20%. Kementan tengah menyiapkan revisi Permentan Nomor 26 tahun 2007 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan.

“Pengembangan industri sawit ke depan tetap mengembangkan inti plasma dan pengusaha jangan melihat hal ini sebagai beban,” katanya.

Revisi Permentan No. 27 tahun 2007

Menurut Suswono, revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26/Permentan/OT. 140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan itu bertujuan untuk lebih memperjelas dan mempertegas pembangunan plasma di industri perkebunan kelapa sawit.

Revisi ini akan difokuskan pada pasal 11 aturan Menteri Pertanian tersebut. Pasal 11 ini terdiri atas empat ayat, yang mana seluruhnya tidak secara tegas menetapkan tenggat waktu (deadline) pembangunan plasma kelapa sawit dan status lahan yang bakal dipakai. Artinya, tidak ada kewajiban bagi perusahaan inti untuk mewujudkan pembangunan plasma pada tahun ke sekian setelah perusahaan mulai beroperasi.

Kebijakan itu hanya mengatur pembagian porsi plasma yang wajib dibuat oleh pelaku usaha. Misalnya, ayat 1 tertulis, perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan.

Selanjutnya, pembangunan kebun untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan, antara lain melalui pola kredit, hibah, atau bagi hasil. Pada ayat berikutnya, pembangunan kebun plasma dilakukan secara bersama-sama antara masyarakat dan pelaku perkebunan.

Maka itu, pemerintah merasa perlu merevisi aturan tersebut. Suswono, menargetkan revisi Permentan No 26 Tahun 2007 bisa dirampungkan pada April 2012.

Sementara itu, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Gamal Nasir menjelaskan, upaya penyempurnaan Permentan 26/2007 akan melibatkan seluruh stakeholder termasuk pemerintah daerah. Untuk itu pula akan digelar lokakarya guna menghimpun pendapat dan usulan.

Menurut Gamal, poin penting revisi Permentan itu, yakni memperjelas pembagian porsi kebun plasma antara pelaku usaha dan rakyat. Pasalnya, selama ini terjadi multitafsir mengenai pembagian sebesar 20%, apakah itu dihitung berdasarkan lahan hak guna usaha (HGU) atau diluar lahan HGU.

Permentan 26/2007 yang sebelumnya hanya mengatur plasma untuk pelaku usaha yang membuka kebun selepas tahun 2007, maka itu akan direvisi bahwa pembangunan plasma juga berlaku untuk perkebunan yang sudah ada sebelum 2007. “Kebijakan baru akan mengatur perkebunan yang sebelumnya tidak diwajibkan membangun plasma,” ujar Gamal.

Untuk porsi pembagian plasma, apakah bakal diambil dari lahan HGU perusahaan atau tidak, menurut Gamal, itu nantinya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Sebab, kepala daerah selama ini yang mengeluarkan izin usaha perkebunan.

Namun demikian, bukan berarti kebijakan plasma perkebunan kelapa sawit sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah. Sebab, pembangunan kebun plasma sawit tetap dibawah tanggung jawab pemerintah pusat. “Pemerintah daerah hanya menjadi pelaksana saja,” papar Gamal.

Harus Menyeluruh

Banyak pihak menyambut positif revisi Permentan 26/2007. Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR-Trans (Aspekpir) Provinsi Riau, Abdul Aziz Kan’an, meyakini jika Permentan ini benar-benar diterapkan akan sangat menguntungkan petani.

Bahkan, dengan dilibatkannya masyarakat dalam kepemilikan lahan sawit melalui pola perkebunan inti-plasma, dapat mereduksi terjadinya konflik pertanahan. Namun, mengenai tenggat dua tahun yang bakal ditetapkan sebagai waktu definitif untuk pembangunan plasma. Oleh karena itu kata abdul Azis yang terpenting pemerintah jangan hanya fokus membangun plasma saja, perlu juga dipikirkan kebijakan replanting pada perkebunan kelapa sawit milik petani.

Sebab, untuk replanting petani mesti menyiapkan dana yang tidak sedikit. Misalnya, peremajaan tanaman sawit di setiap dua hektare (ha) lahan butuh biaya Rp 76 juta. Di sinilah pemerintah dituntut untuk lebih memperhatikan nasib petani sawit.

Sementara tara itu kalangan pelaku bisnis perkebunan sawit berharap revisi Permentan 26/2007 harus dilakukan secara menyeluruh. Misalnya, ada HGU pelaku usaha yang sudah habis masa berlakunya namun bisa diperpanjang, juga porsi plasma 20% apakah lahannya diambilnya dari lahan HGU.

Ketua Kompartemen Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki), Eddy Martono menilai, sedianya kebijakan plasma 20% itu hanya ditujukan bagi perkebunan kelapa sawit baru saja. “Besarannya 20% tidak masalah,” ujarnya.

Harga Sawit Bisa Capai RM 3.695/ton

Pada 2012 ini diprediksi bisnis sawit masih bersinar, terlebih ekspor CPO bakal meningkat diatas 20 juta ton. Kondisi ini akibat masih banyaknya perusahaan perkebunan yang memacu produksinya, lewat akuisisi maupun pembukaan lahan.

Industri sawit nasional diprediki masih akan terus berkibar, seiring dengan meningkatnya permintaan dan produksi. Ditambah ekspor CPO di akhir 2011 lalu tembus diatas 18 juta ton lebih tinggi ketimbang tahun 2010 yang hanya mencapai 15,65 juta ton .

karet P ada 2012 ini diprediksi bisnis sawit masih bersinar, terlebih ekspor CPO bakal meningkat diatas 20 juta ton. Kondisi ini akibat masih banyaknya perusahaan perkebunan yang memacu produksinya, lewat akuisisi maupun pembukaan lahan.

Industri sawit nasional diprediki masih akan terus berkibar, seiring dengan meningkatnya permintaan dan produksi. Ditambah ekspor CPO di akhir 2011 lalu tembus diatas 18 juta ton lebih tinggi ketimbang tahun 2010 yang hanya mencapai 15,65 juta ton .

Kuatnya bisnis sawit ini, akibat minyak sawit masih menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia, terlebih negara-negara di kawasan Eropa tetap gencar menerapkan program penggunaan baha bakar nabati (biofuel), maka permintaan diprediksi masih meningkat dari kawasan ini.

Namun hingga saat ini fluktuasi pasar CPO dunia masih dipengaruhi oleh suplai dan demand, artinya jika Indonesia dan Malaysia selaku produsen utama CPO dunia mengalami kendala produksi akibat cuaca yang tidak bersahabat atau tingginya curah hujan bisa berdampak pada capaian produksi kedua negara, ujung-ujungnya bakal mempengaruhi harga CPO dunia. Namun demikian, permintaan CPO dunia tercatat masih tetap tinggi, artinya tercermin dari masih meningkatnya permintaan dari negara-negara seperti Cina, India dan Pakistan.

Selain kendala cuaca utamanya untuk di Indonesia, pengembangan industri kelapa sawit sedianya didorong oleh regulasi yang menguntungkan, salah satunya menghilangkan regulasi yang menjadi penghambat, misalnya, tingkat Bea Keluar (BK) yang semestinya tidak terlalu tinggi, penyelesaian cepat terkait tata ruang dan hukum, supaya dapat merangsang peningkatakan volume ekspor.

Selain itu menciptakan iklim usaha yang baik, dari segi keamanan dan infrastruktur serta dukungan penyediaan dana guna meningkatkan penyerapan CPO di dalam negeri, penerapan program penggunaan bahan bakar nabati (biofuel) harus segera dimulai utamanya sebagai bahan bakar di industri.

Perluasan areal perkebunan kelapa sawit faktanya masih dibutuhkan, paling tidak langkah perluasan mesti dilakukan secara maksimal, misalnya, per tahun bisa dilakukan pembukaan lahan sampai 2 juta ha. Selain itu tentunya harus didukung oleh kesiapan industri benih sawit nasional.

Terkait pengembangan hilir yang digagas pemerintah lewat program hilirisasi, pemerintah mesti konsisten guna memberikan insentif supaya percepatan pengembangan industri hilir bisa tercapai. Tingkat suku bunga yang kompetitif , infrastruktur yang memadai, jaminan keamanaan berinvestasi, kemudahan perizinan, dukungan pembiayaan riset dan pengembangan SDM serta mempercepat revitalisasi perkebunan sawit rakyat. Alhasil, bila semua itu bisa dilakukan, strategi ekspor industri kelapa sawit bisa ditingkatkan.

CPO Meningkat Pemerintah Untung

Meningkatnya produksi minyak mentah Crude Palm Oil (CPO) dinilai menguntungkan bagi negara. Dengan ekpektasi produksi sekira 22 juta ton CPO tahun ini, serta ekspor lebih dari 17 juta ton, diperkirakan menyumbang devisa ke negara lebih dari Rp160-an triliun.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, peningkatan kontribusi sumbangan devisa dari CPO ini meningkat cukup besar dibanding 2010 lalu. Sebab, pada 2010, melalui ekspor CPO, bea keluar memberi kontribusi sebesar Rp122 triliun untuk pendapatan negara.

“Catatan kita kan penerimaan dari CPO Rp122 triliun untuk 2010 lalu. Sekarang kan pasti lebih banyak. Sebab angkanya (harga jual ekspor kan di atas USD1.000. Jika dikalikan saja, dengan ekspor lebih dari 17 juta ton dengan harga segitu kan lebih dari USD17 miliar. Itu saja sudah sekira Rp160-an triliun,” kata Hatta.

Peningkatan harga dan produksi CPO jelas menambah pendapatan negara akan lebih besar. Namun, pemerintah juga masih memperhatikan kepentingan pengusaha CPO. Sebab untuk harga CPO yang di bawah USD700 per ton, pemerintah tetap memberikan perlindungan, dengan ditekannya bea keluar.

Namun, untuk harga yang berada di atas USD700, realatif dikenakan bea keluar sekira lima persen, apabila sekira USD1.200 sampai maksimum sekira 25 persen.

“Kita tetap harus memberikan perlindungan berdasarkan harga di bawah USD700. Tapi relatively, kan ada yang lima persen sampai 25 persen paling tinggi, dikenakan untuk harga yang di atas USD700,” katanya.

Hatta menjelaskan, banyak pihak terutama dari sisi pengusaha yang berpikir bahwa bea keluar cenderung memberatkan karena mengurangi pendapatan yang cukup besar. Hal ini pun menjadi salah satu trigger agar pengusaha sawit bisa meningkatkan nilai tambah (added value) dengan hilirisasi.

Selain itu, tingginya harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mendorong petani sawit semakin gencar menambah luas lahan perkebunan sawitnya. Data yang dilansir unit pelayanan pertanian luar negeri departemen pertanian Amerika Serikat (USDA FAS) menyebutkan: lahan perkebunan sawit rakyat di Indonesai semakin bertambah.

Buyers Asal China dan India Borong CPO

Isu perlambatan ekonomi China menggerus harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO). Harga CPO dalam dua pecan terakhir ini terpangkas di level terendah. Pasar cemas melambatnya ekonomi China akan menyurutkan permintaan minyak sawit. Pasalnya, negara tersebut merupakan pengonsumsi minyak nabati terbesar di dunia.

Kontrak CPO untuk pengiriman Juni di Malaysia Derivatives Exchange tergerus 1,1% ke posisi RM 3.470 (US$ 1.130) per metrik ton. Ini merupakan harga terendah sejak 30 Maret. Selanjutnya, kontrak yang sama mengakhiri sesi perdagangan pagi di level RM 3.488 per metrik ton.

karet I su perlambatan ekonomi China menggerus harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO). Harga CPO dalam dua pecan terakhir ini terpangkas di level terendah. Pasar cemas melambatnya ekonomi China akan menyurutkan permintaan minyak sawit. Pasalnya, negara tersebut merupakan pengonsumsi minyak nabati terbesar di dunia.

Kontrak CPO untuk pengiriman Juni di Malaysia Derivatives Exchange tergerus 1,1% ke posisi RM 3.470 (US$ 1.130) per metrik ton. Ini merupakan harga terendah sejak 30 Maret. Selanjutnya, kontrak yang sama mengakhiri sesi perdagangan pagi di level RM 3.488 per metrik ton.

Pekan lalu, China melaporkan, pada kuartal pertama tahun ini, produk domestik bruto meningkat 8,1% dibanding tahun lalu. Ini merupakan kenaikan yang terkecil sejak pertengahan 2009. Pertumbuhan di kuartal pertama pun lebih rendah dibanding kuartal terakhir yang mencapai 8,9%.

Ker Chung Yang, analis Phillip Futures Pte. menilai, data PDB China tidak menggembirakan. “Apalagi, koreksi harga yang cukup tajam di akhir pekan lalu telah menyebabkan sentimen berbalik secara signifikan. Risiko penurunan akan lebih besar ke depan,” prediksinya.

Di sisi lain, surveyor Intertek melaporkan, dalam 15 hari pertama di bulan April, ekspor dari Malaysia turun 15% dibanding periode yang sama bulan lalu, yaitu menjadi 594.798 ton. Ker menyebut, permintaan ekspor mungkin tidak akan terlalu menggembirakan ke depannya, sehingga akan menyebabkan harga minyak sawit tertekan.

Kendati perekonomian China melambat, namun harga minyak mentah naik terus menuerus hingga menembus US$ 100 per barel mendorong pembeli atau buyers asal China dan India menyerbu Indonesia untuk memborong pasokan minyak sawit mentah (crude palm oil (CPO)

Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengatakan, sawit dapat diolah menjadi biofuel, produk substitusi minyak mentah, sehingga dibutuhkan industri internasional sebagai bahan bakar.

Harga minyak mentah yang terus naik di atas US$ 100 per barel dan produksi berbagai jenis minyak nabati yang rendah membuat permintaan CPO meningkat. Indonesia saat ini ‘dibanjiri’ permintaan dari India dan termasuk dari China.

Permintaan CPO India pada 2012 ini diprediksi sebanyak 7,1 juta ton, naik dari 2011 yang sebesar 6,75 juta ton. Ekspor CPO Indonesia di 2012 diperkirakan sebagian besar ditujukan ke India. Ekspor CPO Indonesia terbesar kedua dan ketiga diarahkan ke China dan Uni Eropa yang juga diperkirakan mengalami kenaikan permintaan.

Impor CPO China pada 2012 diperkirakan sebanyak 6,65 juta ton, meningkat dari 5,95 juta ton di 2011. Sementara Uni Eropa membutuhkan 5,6 juta ton CPO di 2012, naik dibanding 2011 sebesar 5,1 juta ton.

Pembeli dari China dan India memborong sawit Indonesia karena negeri ini sudah menjadi negara produsen dan eksportir sawit terbesar di dunia. Data Kementerian Pertanian menyebutkan, Indonesia menguasai 44,5% pasar sawit dunia dengan volume produksi mencapai 19,1 juta ton pada 2010. Indonesia mengungguli Malaysia yang menempati posisi kedua dengan pangsa 41,3% dari volume produksi 17,73 juta ton.

Ranking ketiga ditempati Thailand yang menguasai 2,7% pasar sawit dunia, disusul Nigeria dengan pangsa 2% dari total pasar sawit dunia, kemudian Kolombia dengan pangsa 1,9%. Total produksi sawit dunia mencapai 42,9 juta ton.

Menurut lembaga independen internasional, Oil World, Indonesia diperkirakan menguasai 47% pasar minyak sawit dunia di 2011. Sementara pangsa Malaysia ditaksir bakal turun menjadi 39% di tahun ini. Pangsa negara produsen sawit lainnya belum berubah.

Data Oil World juga menyebutkan, produksi sawit dunia pada 2011 diprediksi mencapai 46 juta ton dengan total area yang digunakan untuk menanam sawit di seluruh dunia mencapai 12 juta hektare. Sebagian besar lahan perkebunan kelapa sawit itu berlokasi di Indonesia dan Malaysia.

Oil World memaparkan, minyak sawit kini menjadi minyak nabati dunia paling penting. Di antara seluruh jenis produksi minyak nabati, sawit berada di posisi teratas (dengan pangsa 30%), diikuti minyak kedelai (29%), minyak biji rape (14%), minyak bunga matahari (8%), dan lainnya (19%).

Polemik CPO di AS Belum Jelas

karet Polemik ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia ke pasar AS tak kunjung selesai. Batas pengajuan keberatan Indonesia pada notifikasi Environment Protection Agency (EPA) AS ternyata diperpanjang kembali hingga Mei mendatang. Padahal, pengunduran batas yang dilakukan oleh AS seharusnya tepat pada 27 April 2012. Padahal AS sebelumnya sudah memperpanjang batas dari 28 Maret 2012 yang lalu.

Hanya sekedar mengingatkan pada 27 Januari 2012 lalu pemerintah AS merilis Notifikasi dari Environmental Protection Agency (EPA), mengenai standar bahan bakar dari sumber yang dapat diperbarui atau Renewable Fuel Standards (RFS).

karet P olemik ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia ke pasar AS tak kunjung selesai. Batas pengajuan keberatan Indonesia pada notifikasi Environment Protection Agency (EPA) AS ternyata diperpanjang kembali hingga Mei mendatang. Padahal, pengunduran batas yang dilakukan oleh AS seharusnya tepat pada 27 April 2012. Padahal AS sebelumnya sudah memperpanjang batas dari 28 Maret 2012 yang lalu.

Hanya sekedar mengingatkan pada 27 Januari 2012 lalu pemerintah AS merilis Notifikasi dari Environmental Protection Agency (EPA), mengenai standar bahan bakar dari sumber yang dapat diperbarui atau Renewable Fuel Standards (RFS).

Pada intinya notifikasi itu menyatakan bahwa bahan bakar minyak nabati atau biofuel yang berasal dari minyak sawit Indonesia belum memenuhi standar energi yang ditentukan.

Kendati terkesan tak ada kepastian daro pihak AS, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan tetap optimistis negosiasi antara RI dengan AS terkait permasalahan ekspor sawit tersebut bakal berjalan mulus.

Walatas batas waktu diperpanjang hingga bulan Mei mendatang. Kementerian Pertanian sudah memasukkan argumennya (terhadap Notice of data availability (NODA) EPA). Sementara untuk Kementerian Perdagangan memasukkan jawaban Notice of data availability pada 12 April lalu . Sedangkan Malaysia juga sudah memberikan argument," ungkap Gita.

Gita pun yakin Indonesia bisa memenangi perkara ini, seperti yang sebelumnya terjadi pada ekspor rokok keretek RI, yang dihadang oleh AS dengan penutupan keran impornya. Gita mengaku, selama pihaknya melakukan diskusi dengan AS dan EPA, kedua pihak lawan tersebut sangat mampu menerima argumen RI.

"Finalisasi akan dilakukan beberapa bulan sebelum akhir tahun (2012). Kita lihat sikap dari Pemerintah Amerika Serikat," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menerangkan pihaknya masih menunggu kepastian, baik dari Pemerintah RI dan juga Pemerintah AS. Pasalnya, kendati nilai ekspor CPO Indonesia ke AS tergolong rendah, akan tetapi AS merupakan pasar yang masih potensial untuk dikembangkan.

"Yang saya tahu pengundurannya sampai 27 April (2012). Namun kami juga tidak bisa apa-apa, karena juga hak mereka (AS) untuk mengundur-ngundur waktunya," katanya.

Fadil mengaku, untuk mengantisipasi jebloknya ekspor komoditas sawit, pihaknya semakin fokus untuk mendiversifikasi pasar ekspor sawit, misalnya ke Brazil dan Afrika. Selama ini kedua wilayah tersebut memiliki kontribusi yang sangat kecil, dibandingkan negara tujuan ekspor sawit lainnya seperti India yang berkontribusi lebih dari 30 persen, Eropa sebesar 15-20 persen, dan Tiongkok di kisaran 12-13 persen.

"Untuk ekspor ke AS masih di angka 62 ribu ton setahun. Masih kecil hitungannya," ujarnya.

Sebagai catatan, produksi CPO pada 2011 sebesar 23,5 juta ton. Semetara pada tahun ini, ditargetkan ekspor CPO mencapai lebih dari 25,4 juta ton. Komposisi CPO yang diekspor sebesar 70,2 persen dari total produksi CPO, yakni sebesar 16,5 juta ton.

Sedangkan yang digunakan untuk pasar domestic sebesar 7 juta ton saja. Saat ini, luasan lahan sawit secara nasional sebesar 8,2 juta hectare. Sementara tahun ini diproyeksi ada tambahan lahan sebesar 150 hektare. Lahan sawit terbesar masih di Pulau Sumatera.

AS Incar Lahan Sawit Indonesia

Dibelakang penolakan CPO Indonesia di AS, usut-upunya usut ada sejumlah investor asal Amerika Serikat mencari lahan untuk perkebunan sawit. Luas areal yang dibutuhkan oleh investor itu seluas 250 ribu hectare. Menurut duniaindustri.com, Investor AS itu namanya sudah terdaftar di bursa efek AS dan menyiapkan dana investasi sebesar US$ 1,25 miliar atau setara US$ 5.000 per hektare.

Duniaindustri.com menyatakan, nama perusahaan AS tersebut cukup tenar di negeri Paman Sam. 250 ribu hektare kebun sawit masih ada di Indonesia mengingat Indonesia menjadi produsen sawit terbesar di dunia.

Sementara lokasi yang diincar perusahaan tersebut sampai sejauh ini masih belum menyebutkan dimana lokasi yang diinginkan, karena khawatir harga lahan akan naik terlebih tinggi. 


http://fp2sb.org

“Swasembada Gula” Mangkinkah Tercapai

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya tinggal memiliki waktu kurang dari tiga tahun untuk memenuhi janjinya yaitu, mencapai pembangunan yang dicanangkan sejak terpilihnya sebagai Presiden kedua kalinya. Di dalam target itu, antara lain adalah swasembada pangan, termasuk gula, berbasis produksi dalam negeri. Pertanyaan yang paling mendasar adalah mampukah pemerintahan SBY meraih tingkatan swasembada gula pada tahun 2014 yang kurang dari tiga tahun ini?.

Produksi dan Konsumsi

Produksi gula secara nasional sekarang ini dihasilkan oleh 62 pabrik gula (PG) yang dikelola 13 perusahaan negara (BUMN) dan swasta, 51 PG milik BUMN. Hasil produksi gula nasional rata-ratanya sebesar 2,7 ton pertahun dengan rata-rata areal tanaman tebu seluas 450.000 hektare.

Produksi gula pada tahun 2003 sebesar 1,632 juta ton, mengalami kenaikan pada tahun 2004 menjadi 2,052 juta ton. Puncak produksi tertinggi tercapai pada tahun 2008 yaitu sebesar 2,668 juta ton; namun kemudian terus menurun menjadi 2,3 juta ton pada tahun 2009, dan 2,214 juta ton pada tahun 2010; untuk tahun 2011 produksinya menurun lagi yaitu hanya 2,15 juta ton.

Sebaliknya, volume impor gula nasional cenderung semakin meningkat dari tahun ke tahun yaitu : sebesar 0,79 juta ton (2005); 1,51 juta ton (2006); 2,99 juta ton (2007); 1,82 juta ton (2008); 1,6 juta ton (2009); 2,04 juta ton (2010); dan 2,06 juta ton (2011, sampai bulan September 2011).

Agar tingkatan swasembada gula pada tahun 2014 dapat tercapai, maka hasil produksi gula nasional pada tahun tersebut harus dapat mencapai sebesar 5,7 juta ton, untuk memenuhi tingkat konsumsi gula nasional (konsumsi-konsumsi rumah tangga, industri, dan cadangan nasional).

Hasil produksi gula dapat mencapai sebesar 5,7 juta ton jika ada penambahan luas areal tanaman tebu seluas 350.000 hektare. Jika sampai sekarang ini luas areal tanaman tebu seluas 450.000 hektare, maka tingkatan swasembada gula pada tahun 2014 akan dihasilkan oleh areal tanaman tebu seluas 800.000 hektare.

Penambahan 350.000 Hektar.

Menteri Kehutanan menyanggupi akan segera menyerahkan lahan seluas 350.000 hektare, dan yang telah disiapkan untuk ditanami tebu adalah seluas 25.000 hektare di Merauke, Papua. Yang perlu dipertanyakan adalah : Pertaman, penambahan seluas 350.000 hektare itu lokasinya di mana saja, kondisi kepencarannya dan topografinya serta ketinggiannya, derajat keasaman lahannya yang sesuai dengan syarat pertumbuhan tebu, serta kondisi lingkungannya. Perlu penelitian pendahuluan dan penyusunan Feasibility Study.

Kedua, Bagaimana status lahannya, apakah benar-benar tanah negara yang selama ini dikelola Kementerian Kehutanan. Hal ini untuk menghindari jangan sampai terjadi penyerobotan tanah ulayat atau tanah rakyat. Dan yang ketiga, dengan adanya penambahan luas lahan 350.000 hektare itu, apakah sudah disiapkan juga pembangunan pabrik gula baru sebanyak 15 - 20 pabrik yang setara dengan penambahan luas lahan tersebut. Barangkali pembangunan pabrik-pabrik gula baru sebanyak itu tidak akan selesai selama 2 - 3 tahun, sehingga akan sulit mencapai swasembada gula tahun 2014.

Kelemahan program pergulaan Indonesia sampai sekarang ini, masih berorientasi pada hasil produksi gula nasional, bukan peningkatan hasil produksi gula perhektare lahan yang juga dapat meningkatkan pendapatan petani tebu. Dengan demikian terjadinya kenaikan hasil produksi gula nasional itu disebabkan adanya perluasan areal tanaman tebu (ekstensifikasi), bukan karena peningkatan mutu pengelolaan tanaman tebu (intensifikasi).

Dengan perluasan areal tanaman tebu itu maka masa giling pabrik gula menjadi lebih lama yaitu selama 8 - 9 bulan, yang mengakibatkan rata-rata produktivitas tebu dan rendemen gula pada batang tebu menjadi sangat rendah sehingga merugikan petani tebu dan pabrik gula itu sendiri.

Program penambahan luas lahan untuk tanaman tebu seluas 350.000 hektare itu lebih baik jangan dipaksakan karena banyak mengandung risiko yang berkaitan dengan pendanaan ekonomi biaya tinggi, manipulasi dan korupsi, serta kasus-kasus pertanahan.

Lebih baik jika lahan untuk areal tanaman tebu yang tersedia sekarang ini dikelola benar-benar secara intensif (secara Reynoso) sehingga dapat menghasilkan produktivitas tebu dan gulanya yang tinggi seperti pada tahun 1930 misalnya, yang dapat menghasilkan gula sebesar 17 ton perhektare. Tidak seperti sekarang ini, areal tanaman tebu seperti semak belukar sehingga hasilnya hanya sekitar 6 ton gula per hektare.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More